Laman

Rabu, 01 November 2017

Realisme Classic



Tokoh-tokoh Realisme :
1.      Thucydides
2.      Niccolo Machiavelli
3.      Hans J. Morgenthau
4.      Thomas Hobbes
5.      Robert Gilpin, etc
Salah satu isu penting dalam perkembangan hubungan internasional adalah masalah keamanan, karena setiap negara memiliki apa yang disebut dengan sifat anarki. Sehingga setiap negara-negara dunia mencoba untuk mencoba melindungi diri dari serangan dari negara lain. Dalam interaksi antar negara-negara paling sedikit ada lima nilai dasar sosial yang harus tetap dijaga oleh setiap negara, yakni : keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan. Kelima nilai ini merupakan nilai yang sangat fundamental yang harus dilindungi atau dijamin dengan cara apapun. Sehingga hal ini biasa dilakukan oleh organisasi sosial diluar negara, seperti keluarga, klan, etnis atau organisasi keagamaan. Nilai-nilai ini berkaitan dengan teori dalam Hubungan internasional, dengan tabel sebagai berikut :

No
Fokus
Teori-teori/Paradigma
1
Keamanan (Politik kekuatan,konflik dan perang)
Realisme
2
Kebebasan (Kerjasama, perdamaian, kemajuan)
Liberalisme
3
Ketertiban dan Keadilan (kepentingan bersama, aturan dan lembaga)
Masyarakat Internasional
4
Kesejahteraan (kekayaan, kemiskinan dan persamaan)
Teori-teori Ekonomi Politik Internasional (EPI)

Di era modern seperti sekarang ini keperluan akan adanya keamanan dan kenyamanan dalam satu negara, harus didukung dengan adanya keterlibatan lembaga resmi yang dapat menjamin terwujudnya kelima nilai-nilai tersebut.Lembaga tersebut adalah negara, masyarakat umumnya menganggap bahwa negara harus dan akan menjaga nilai keamanan nasional, yang mencakup perlindungan warga negara dari ancaman internal dan eksternal. Tugas ini merupakan perhatian atau kepentingan fundamental negara-negara. Dengan demikian, keberadaan negara-negara merdeka sangat mempengaruhi nilai keamanan, kita hidup dalam dunia banyak negara dan hampir semua dilengkapi dnegan persenjataan paling tidak dalam beberapa tingkatan. Sehingga negara-negara sekaligus dapat bertahan maupun mengancam keamanan rakyat, dan paradoks dari sisrem negara biasanya dianggap sebagai “dilema keamanan”, dimana hampir setiap organisasi manusia lainnya, negara dapat menimbulkan masalah sekaligus memberikan solusinya.
Sebagian besar negara mungkin bersahabat, tidak mengancam dan mencintai perdamaian. Tetapi sebagian kecil negara mungkin bermusuhan dan agresif, dan tidak adanya pemerintahan dunia yang dapat mencegah mereka. Setiap negara percaya bahwa kekuatan militer merupakan suatu kebutuhan penting, sehingga negara-negara dapat hidup berdampingan dan berhadapan satu sama lainnya tanpa terintimidasi dan takluk. Banyak negara ikut serta dalam aliansi-aliansi dengan negara lain untuk meningkatkan keamanan nasionalnya. Untuk menjamin agar tidak ada negara-negara berkekuatan besar (great powers) berhasil mencapai posisi hegemoni atas dominasi keseluruhan, berdasarkan intimidasi, paksaan atau penggunaan kekuatan sewenang-wenang, adalah penting bagi suatu negara untuk membangun dan memelihara keseimbangan kekuatan militer. Pandangan inilah yang menjadi dasar muncul dan berkembangnya pandangan Realis dalam hubungan internasional. Pendekatan ini berdasar atas asumsi bahwa hubungan negara dapat dicirikan sebaik-baiknya sebagai dunia yang didalamnya terdapat negara-negara bersenjata yang saling bersaing dengan lawannya secara periodik berperang antara satu sama lain (Morgenthau, 1960).

Elemen-elemen Realisme
Sebelum mengetahui secara menyeluruh mengenai pandangan realisme, terlebih dahulu perlu diketahui asumsi-asumsi atau elemen-elemen dasar kaum realisme, yakni :
1.      Pandangan pesimis terhadap sifat dasar manusia ;
2.      Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya bersifat konfliktual dan konflik internasional pada akhirnya akan diselesaikan melalui perang ;
3.      Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara ;
4.      Skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam politik domestik.

Pandangan pesimis atas sifat dasar manusia ini sangat jelas dijelaskan dalam teori HI Hans Morgenthau (1965;1985), merupakan pemikir realis yang sangat terkemuka pada abad ke-20. Ia melihat bahwa setiap manusia, baik pria maupun wanita memiliki “keinginan untuk berkuasa”. Hal ini sangat jelas tergambar dalam politik dan khususnya politik internasional. “Politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik”.
Thucydides, Machiavelli dan hobbes mereka adalah kaum klasik, tentunya memiliki pandangan yang sama dengan hal tersebut. Mereka yakin bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik. Dengan demikian politik internasional digambarkan sebagai politik kekuasaan (power politics), yang menjadi arena persaingan, konflik dan perang antara negara-negara dimana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasipnal dan dalam menjamin kelangsungan hidup negara berulang secara terus menerus.
Kaum realis berjalan dengan asumsi dasar bahwa politik berkembang dalam anarki internasional, yakni sebuah sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan, tidak pada pemerintahan dunia. Negara adalah aktor utama dalam politik dunia. Aktor-aktor lainnya dalam dunia politik seperti individu-individu, organisasi internasional, LSM dst kurang penting atau tidak penting. Inti terpenting dari kebijakan luar negeri adalah untuk membentuk dan mempertahankan negara dalam politik dunia. Kekuatan setiap negara tidaklah sama, terdapat hierarki internasional atas kekuasaan diantara negara-negara. Negara-negara yang paling penting dalam politik dunia adalah negara yang berkekuatan besar (great powers). Hubungan internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan diantara negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan.
Dasar normatif dari realis ini adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara, ini merupakan nilai-nilai dan kebijakan luar negeri kaum realis. Negara dipandang sebagai aktor esensial bagi kehidupan warga negaranya, tanpa adanya negara yang menjamin alat-alat dan kondisi-kondisi keamanan dan memajukan kesejahteraan, kehidupan manusia dibatasi menjadi seperti yang tersurat dalam pernyataan Thomas Hobbes yang terkenal (1946) sifat negara-negara ada yang ‘terpencil, miskin dan sangat tidak menyenangkan, tidak berprikemanusiaan dan singkat’. Dengan demikian negara dianggap sebagai pelindung wilayahnya, penduduknya dan cara hidupnya khas dan berharga. Kepentingan nasional adalah wasit terakhir dalam menentukan kewajiban luar negeri. Masyarakat dan moralitas manusia dibatasi pada negara dan tidak meluas pada hubungan internasional, yang merupakan arena politik dan kekacauan besar, perselisihan, konflik antar negara-negara dimana negara-negara yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.
 Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan  nasionalnya sendiri berarti bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan pernah bisa diharapkan sepenuhnya. Seluruh kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar keinginan negara-negara untuk mematuhinya. Semua negara harus siap mengorbankan kewajiban internasionalnya  yang berdasar pada kepentingannya sendiri, jika dua negara terlibat dalam konflik. Hal ini menjadikan perjanjian-perjanjian, konvensi, kebiasaan, aturan, hukum dan lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa pengaturan yang bijaksana dan dapat dikesampingkan jika semua itu bersebrangan dengan kepentingan vita negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam pengertian moral dari kata itu, yakni terikat kewajiban timbal balik antara negara-negara merdeka. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, kaum realis menganggap bahwa satu-satunya tanggung jawab mendasar warga negara adalah meningkatkan dan mempertahankan kepentingan nasional, seperti yang digambarkan oleh Machiavelli dalam buku terkenalnya The Prince:

“Seorang pangeran, tidak dapat mematuhi segala sesuatu yang dianggap baik bagi manusa, agar dapat mempertahankan negara, ia seringkali bertindak bertentangan dengan janjinya, dengan kebaikan dan dengan rasa kemanusiaannya dan terhadap keyakinannya. Oleh karena itu, Ia perlu memiliki pikiran yang berbalik dengan dirinya sendiri, sepanjang itu masuk akal, ia seharusnya tidak tersesat dari kebaikan, namun ia seharusnya tahu bagaimana menjadi setan jika kebutuhan memintanya. (Machiavelli ;59-60).

Realisme Klasik
Tokoh-tokoh terkenal dalam realis klasik seperti Sejarawan Yunani Kuno Thucydides, seorang teorisi politik Italia pada masa rennaisance, Niccolo Machiavelli dan Filusuf Hukumm dan Politik Inggris diabad-17 Thomas Hobbes. Selain itu, adapula tokoh realis neoklasik yang juga merupakan teorisi HI di Amerika-Jerman abad ke-20, Hans J.Morgenthau.

Thucydides
Apa yang kami sebut hubungan antara bangsa (national) Thucydides melihatnya sebagai konflik dan kompetisi yang tidak dapat dihindari antar negara-negara Yunani Kuno (peradaban Hellas) dan antara Hellas dan kekaisaran Non-Yunani disekitarnya seperti Macedonia dan Persia. Baik negara-negara Hellas maupun tetangganya yang bukan Yunani tidak ada satupun yang setara. Sebaliknya mereka dinyatakan tidak setara, terdapat beberapa “negara berkekuatan besar, seperti Athena, Sparta dan kekuasaan Persia dan banyak negara yang berkekuatan lebih kecil dan lemah seperti kepualauan kecil di laut Aehean. Perbedaan ini dianggap tidak dapat dihindari dan alami, dan realisme Thucydides ini menggambarkan sifat/karakter alamiahnya. Aristoteles mengatakan bahwa “manusia adalah binatang politik”. Sedangkan Thucydides mengatakan sebenarnya binatang politik sangatlah berbeda dalam kekuatan dan kapabilitasnya untuk mendominasi yang lain dan mempertahankan dirinya sendiri. Semua negara, baik besar maupun kecil harus mampu beradaptasi terhadap keadaan alamiahnya, berdasarkan realitas kekuatan yang berbeda dan juga harus mampu mengatur dirinya sendiri sesuai dengan keadaan alamiahnya. Jika negara mampu melakukan hal itu, mereka akan bertahan dan bahkan menjadi semakin sejahtera. Namun jika negara gagal melakukan hal itu, mereka akan menceburkan diri dalam bahaya dan bahkan mungkin dihancurkan. Sejarah kuno penuh dengan contoh-contih negara-negara dan kerajaan-kerajaan, baik yang besar maupun yang kecil, dihancurkan. Seperti persaingan yang terjadi antara kerajaan-kerajaan Yunani kuno dibawah kepemimpinan Sparta dan Athena yang membentuk Liga Hellenik (492-477 SM) bertujuan untuk membentuk persamaan atas kesatuan Yunani selama perang Persia. Namun terjadi perselisihan anggota-anggota Liga, kebanyakan disebabkan oleh ketakutaan negara kota atas perluasan dan imperialisme Athena. Setelah kemenangan Yunani atas Persia, musuh Athena yang dipimpin oleh Sparta, membentuk aliansi tandingan Liga Peloponesia suatu aliansi yang bertujuan membentuk sistem keamanan bersama (collective security)bertujuan untuk menentang perluasan Athena lebih jauh. Persaingan keras atas perdagangan dan keunggulan angkatan laut antara Corinth dan Athena pada akhirnya menjurus pada perang Peloponesia yang melibatkan dua aliansi tersebut. (Holsti L 1988 :38-39).
Dari kasus tersebut Thucydides menekankan pilihan-pilihan terbatas dan ruang manuver terbatas yang tersedia bagi warganegara dalam menajalankan kebijakan luar negeri. Ia juga menekankan bahwa keputusan memiliki konsekuensi : sebelum keputusan akhir dibuat, seorang pembuat keputusan harus dengan hati-hati memikirkan kemungkinan, konsekuensi yang buruk maupun baik. Thucydides juga menekankan etika kehati-hatian dalam menjalankan kebijakan luar negeri dalam dunia internasional yang penuh dengan perbedaan yang pilihan-pilihan kebijakan luar negerinya terbatas, dan dalam menghadapi bahaya yang selalu muncul tiba-tiba seperti juga kesemparan.
Dalam studinya yang terkenal tentang perang Peloponesian (431-404 SM), Thucydides menjelaskan filsafat realisnya pada para pemimpin Athena, suatu negara berkekuatan besar dalam dialignya dengan para pemimpin melos suatu negara berkekuatan kecil selama masa konflik antar kedua negara-kota pada tahun 426SM. Bangsa melian membuat pertimbangan berdasarkan prinsip keadilan, yang bagi mereka berarti bahwa kehormatan dan martabatnya sebagai negara yang bebas harus dihargai oleh bangsa Athena yang kuat. Tetapi menurut Thucydides, keadilan adalah sesuatu yang khusus dalam hubungan internasional. Keadilan bulaklah perlakuan yang sama kepada semua pihak, namun ini tentang mengetahui tempat yang tepat, tentang menyesuaikan diri pada realitas alami kekuatan yang berbeda.
Contoh ini merupakan gambaran paling terkenanl dari pemahaman kaum realis klasik mengenai hubungan internasioanl yang pada dasarnya anarki atas negara-negara terpisah yang tidak memiliki pilihan nyata kecuali berjalan menurut prinsip-prinsip dan praktek-praktek politik kekuasaan dimana keamanan dan kelangsungan hidup negara merupakan nilai-nilai paling utama dan perang adalah wasit terakhir.

Niccolo Machiavelli
Kekuasaan (singa) dan penipuan (rubah) adalah dua alat penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri, menurut ajaran politik Machiavelli (1984 :66). Nilai tertinggi adalah kebebasan nasional, yakni kemerdekaan. Tanggung jawab utama penguasa adalah selalu berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kelangsungan hidupnya. Hal ini membutuhkan kekuatan : jika negara tidak kuat akan mendorong hasrat kuat bagi yang lain untuk menghancurkannya (Penguasa harus menjadi seekor singa). Hal itu membutuhkan kecerdikan dan jika perlu kekejaman dalam mengejar kepentingan dirinya (penguasa harus mnejadi seekor rubah). Jika penguasa tidak cerdik, pandai dan tangkas, mereka mungkin kehilangan kesempatan yang dapat membawa keunggulan atau manfaat besar baginya dan negaranya. Bahkan lebih penting, mereka mungkin gagal melihat suatu bahaya atau ancaman yang jika tidak dijaga mungkin akan melukai atau bahkan menghancurkan mereka, rejimnya, dan bahkan mungkin negaranya juga. Para negarawan harus menjadi singa dan rubah adalah inti teori realis Machiavelli, teori utama realis klasik HI adalah teori kelangsungan hidup negara (Wight 1966).
Asumsi Machiavelli yang berlebihan adalah bahwa dunia merupakan tempat yang berbahaya. Namun disisi lain, tempat yang menguntungkan pula. Jika setiap orang hendak bertahan dalam dunia seperti itu, dia harus menyadari akan adanya bahaya, harus mengantisipasinya, dan harus mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan. Apabila mereka mengharapkan untuk menjadi sejahtera, dapat memperkaya diri sendiri, dan dapat bersenang-senang dalam kejayaan yang tercermin dalam dari keseluruhan kekuasaan dan kekayaan yang telah mereka dapatkan, perlu bagi mereka untuk mengetahui dan mengeksploitasi kesempatan-kesempatan yang mucul dan melakukannya dengan cepat, penuh keahlian dan jika perlu lebih kejam dari musuh dan saingannya yang manapun. Oleh karena itu pelaksanaan kebijakan luar negeri merupakan aktivitas instrumental atau “Machiavellian” berdasarkan kalkulasi cerdas kekuatan dan kepentingan suatu negara terhadap kekuatan dan kepentingan musuh dan pesaing.
Yang terpenting menurut Machiavelli, pemimpin negara yang bertanggungjawab tidak harus bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip umat Kristiani : mencintai tetangganya, bersikap damai dan mencegah perang, kecuali untuk mempertahankan diri atau dalam mencari alasan yang tepat. Jika pemimpin politik bertindak sesuai dengan moralitas kristiani, mereka akan menemukan kesulitan, dan akan kehilangan semuanya. Bukan hanya itu, mereka akan mengorbankan harta benda dan mungkin kebebasan, bahkan kehidupan warganegaranya, yang bergantung pada keahlian mereka sebagai negarawan. Implikasinya jelas, jika seorang penguasa tidak mengetahui atau menghargai bentuk-bentuk politik kekuasaan, maka ketatatnegaraannya akan gagal. Dengan begitu akan berpengaruh pada keamanan dan kesejahteraan warganegaranya yang sangat bergantung padanya. Dengan kata lain, tanggung jawab politik mengalir dalam saluran yang sangat berbeda dari biasanya, moralitas pribadi. Nilai-nilai mendasar adalah keamanan dan kelangsungan hidup negara : yakni apa yang harus menjadi petunjuk kebijakan luar negeri.
Tulisan Machiavelli kadang-kadang digambarkan sebagai “buku petunjuk tentang bagaimana berjuang dalam dunia yang sangat kacau dan tidak bermoral” (Forde 1992 : 64). Namun pandangan ini menyesatkan, karena mengabaikan tanggungjawab penguasa tidak hanya bagi mereka sendiri atau rejim personalnya, tetapi juga negeri dan warganegaranya : apa yang dianggap Machiavelli, membayangkan Florence, sebagai ‘republik’. Ini merupakan aspek kebaikan kepentingan umum dari realisme Machevellian : penguasa harus menjadi singa sekaligus rubah dalam waktu yang sama, sebab rakyatnya bergantung padanya demi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya. Ketergantungan rakyat pada penguasanya, khususnya pada kebijaksanaan kebijakan luar negentinya, menunjukkan fakta bahwa nasibnya terikat dalam negara yang sama, hal itu merupakan inti normatif bukan hanya dari realisme Machiavellian tetapi dari realisme klasik pada umumnya.

Thomas Hobbes dan Dilema Keamanan
Thomas Hobbes berpikir kita dapat memperoleh pandangan mendasar kedalam kehidupan politik jika kita membayangkan pria dan wanita hidup dalam kondisi ‘alami’ sebelum penemuan dan pembentukan negara berdaulat. Ia menganggap bahwa kondisi pra-sipil tersebut sebagai ‘keadaan alami’. Bagi Hobbes (1946 :82) ‘keadaan alami’ merupakan lingkungan manusia yang sangat tidak bersahabat dimana terdapat ‘keadaan perang’setiap manusia dengan manusia lainnya. Dalam kondisi alaminya setiap pria, wanita dan anak-anak berbahaya bagi siapapun, kehidupan terus berada dalam keadaan bahata, dan tidak seorangpun yakin tentang keamanan dan kelangsungan hidupnya untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Orang hidup terus menerus dalam ketakutan terhadap satu sama lain. Hobbes mencirikan kondisi pra-sipil, sebagai berikut :
Dalam kondisi seperti itu, tidak ada tempat bagi industri, sebab hasil daripadanya tidak menentu. Akibatnya tidak ada budaya dimuka bumi ; tidak ada navigasi ataupun penggunaan komoditas-komoditas yang mungkin bisa diimpor melalui laut, tidak ada bangunan megah, tidak ada seni, tidak ada surat, tidak ada masyarakat dan yang paling buruk dari semuanya, ketakutan selamanya, dan bahaya kematian yang sadis; dan kehidupan manusia yang terpencil, miskin, buruk, brutal dan singkat. (Hobbes, 1946 :82).

Hobbes yakin bahwa terdapat jalan keluar dari keadaan alami menuju kondisi manusia yang lebih beradab, yakni melalui penciptaan dan pemeliharaan negara berdaulat. Alat pelarian oleh pria dan wanita ini digunakan untuk membalikkan ketakutannya satu sama lain dalam kolaborasi bersama satu sama lain ntuk membentuk perjanjian keamanan yang dapat menjamin keselamatan mereka masing-masing. Ironisnya pria dan wanita melakukan kerjasama secara politik disebabkan oleh ketakutan mereka akan dilukai atau bahkan dibunuh oleh tetangganya : “mereka dibuat beradab oleh ketakutan mereka terhadap kematian” (Oakeshott 1975 :36). Ketakutan dan tidakamanan mereka mendorong mereka jauh dari kondisi alaminta : perang semua melawan manusia. Dengan kata lain, mereka pada dasarnya didorong untuk membentuk negara berdaulat bukan oleh rasionya (intelegensi), tetapi oleh keinginannya (emosi). Dengan nilai perdamaian dan ketertiban yang tertanam kuat, mereka akan berkolaborasi bersama menciptakan suatu negara dengan pemerintahan yang berdaulat yang memiliki kekuasaan absolut dan kekuatan yang besar untuk melindungi mereka baik dari kekacauan internal maupun musuh serta ancaman-ancaman dari pihak asing. Dalam kondisi yang beradab (damai dan tertib) dibawah perlindungan negara, baik pria maupun wanita memiliki kesempatan berkembang dalam keselamatan yang relatif : mereka tidak lagi terus-menerus hidup dalam ancaman terluka dan kematian. Dalam keadaan aman dan damai, mereka bisa bebas dan sejahtera. Seperti yang dijelaskan Hobbes, mereka akan mengejar dan memperoleh ‘kesenangan’ yakni kebagiaan dan kesejahteraan.
Tindakan membentuk negara berdaulat yang terlepas dari keadaan alami yang menakutkan terus-menerus menciptakan keadaan alami lain di antara negara-negara. Hal itu mengandung apa yang biasanya dianggap “dilema keamanan” dalam politik dunia : pencapaian keamanan personal dan keamanan domestik melalui penciptaan negara selalu disertai oleh kondisi ketidakamanan nasional dan internasional yang berakar dalam anarki sistem negara. Tidak ada upaya pembebasan diri dari dilema keamanan internasional, yang didalamnya terdapat upaya untuk melarikan diri dari dilema keamnan personal, sebbab tidak ada kemungkinan unguk membentuk negara global atau pemerintahan dunia. Berbeda dengan manusia (pria dan wanita) yang berada dalam keadaan alami, negara-negara berdaulat tidak akan menyerahkan kemerdekaannya demi terjaminnta keamanan global. Hal ini disebabkan keadaan alami internasional negara-negara tidak sama mengancam dan berbahanya seperti keadaan alami aslinya : lebih mudah bagi negara-negara memerikan keamanan daripada bagi setiap individu (pria dan wanita) untuk melakukan hal yang sama bagi dirinya sendiri ; negara-negara dapat memobilisasi kekuatan kolektif sejumlah besar rakyat ; negara-negara dapat mempersenjatai dirinya sendiri dan dapat mempertahankan dirinya sendiri terhadap ancaman keamanan pihak asing secara besar-besaran dan berkesinambungan.
Anarki internasional berdasarkan pada negara berdaulat merupakan sistem kebebasan bagi kelimpok. Namun inti terpenting tentang keadaan alami internasional adalah kondisi dari perang aktual atau potensial, tidak akan terdapat perdamaian yang permanen atau terjamin diantara negara-negara berdaulat.
Menurut Hobbes, negara-negara juga akan membuat perjanjian satu sama lain untuk menyediakan dasar hukum dalam hubungan antar negara. Hukum internasional dapat menenangkan keadaan alami internasional dengan menyediakan kerangka persetujuan dan aturan yang menguntungkan semua negara. Realisme klasik, Hobbes menekankan pada kekuatan militer dan hukum internasional. Namun dalam hukum internasional yang diciptakan oleh negara-negara, dan hukum itu hanya akan dipatuhi oleh negara yang melakukannya saja, sebaliknya hukum itu akan diabaikan. Bagi Hobbes, seperti Machiavelli dan Thucydides, keamanan dan kelangsungan hidup adalah nilai-nilai yang sangat mendasar. Namun dasar dari realisme Hobbesian adalah perdamaian domestik, perdamaian dalam kerangka kerja negara berdaulat dan kesempatan bahwa “hanya perdamaian sipil yang dapat menyediakan kebahagiaan bagi setiap manusia (pria dan wanita)’. Perbedaan nilai-nilai dasar dari ketiga tokoh realis klasik, dapat di kategorikan dalam tabel sebagai berikut :
No
Thucydides
Machiavelli
Hobbes
1
Nasib politik
Kebuasan politik
Keinginan Politik
2
Kebutuhan dan keamanan
Kesempatan dan keamanan
Dilema Keamanan
3
Ketahanan politik
Kelangsungan hidup politik
Ketahanan Politik
4
Keselamatan
Kebajikan umum
Perdamaian dan kebahagiaan

Dari semua penjelasan mengenai asumsi kaum realis klasik dapat dirangkum secara ringkas. Pertama, mereka setuju bahwa kondisi manusia adalah kondisi yang tidak aman dan berkonflik yang harus diperhatikan dan dihadapi. Kedua, mereka setuju bahwa terdapat kumpulan pengetahuan politik, atau kebijaksanaan, untuk menghadapi masalah keamanan dan masing-masing dari mereka mencoba mengidentifikasi elemen-elemen pokoknya. Ketiga, mereka setuju bahwa tidak ada pelarian akhir dari kondisi manusia ini, yang merupakan bentuk permanen kehidupan manusia. Dengan kata lain, meskpun terdapat kumpulan kebijakan politik yang dapat diketahui dan dinyatakan dalam bentuk pepatah2 politik, dimana tidak ada solusi permanen atau akhir bagi masalah-masalah politik termasuk politik internasional.


Sumber-sumber :
Robert Jackson & George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009).
Martin Grifftith. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar