Laman

Rabu, 01 November 2017

Neo-Realis (Strukturalis)






Tokoh-tokoh Neo-Realisme :
1.      Hans J. Morgenthau
2.      Kenneth Waltz
3.      Stephen Krasner
4.      Susan Starnge ; etc
Sejarah Perkembangan hubungan internasional tidak terlepas dari beberapa pendekatan utama, seperti Realisme Klasik, Realisme Neo-Klasik dan Realisme Strukturalis (Neo-Realis). Sebelum membahas mengenai realisme strukturalis, terlebih dahulu kita akan pahami tentang lanjutan dari teori Realisme Klasik yakni realisme neo-klasik yang tokohnya sangat terkenal ; Hans. J Morgenthau. Dalam karyanya Politics Among Nationstahun 1948, didalamnya membahas mengenai teori empiris internasional. Teori semacam ini memungkinkan peran kekuasaan membatasi ruang lingkup dan sifat dalam dasar bidang studi politik dan pola-pola yg muncul pada aktivitas setiap negara yang dihasilkan oleh perjuangan-perjuangan untuk mencapai kekuasaan sepanjang proses sejarah. Lebih lanjut, Morgenthau menganggap bahwa teorinya ini dapat digunakan/diterapkan oleh semua negara, ia memfokuskan diri pada negara yg paling berkuasa diantara negara-negara merdeka lainnya. Ia juga berpendapat bahwa hanya negara Adi daya yg dapat menentukan karakter politik internasional pada periode sejarah internasional.
Morgenthau berbicara mengenai animus dominandiyang artinya manusia ‘haus’ akan kekuasaan. Pengharapan akan kekuasaan relatif, tetapi juga pencarian wilayah politik yang terjamian keamanannya dapat digunakan untuk mempertahankan diri sendiri dan untuk memperoleh kebebasan diri sendiri dari pihak lain. Ini merupakan aspek keamanan animus domandi. Wilayah keamanan politik pada akhirnya akan diperoleh dan terbentuk dalam keadaan negara merdeka. Keamanan diluar negara merdeka adalah mustahil.
Animus domandi, manusia tidak dapat dihindarkan dapat membawa pria dan wanita kedalam konflik satu sama lainnya. Hal ini menciptakan kondisi politik kekuasaan yang merupakan inti bukan hanya kaum Realisme neo-klasik, namun semua konsepsi utama kaum realisme klasik dalam hubungan internasional. “politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik aksi politik” (Morgenthau 1965). Disini Morgenthau sangat jelas mengulang konsep Machiavelli dan Hobbes, jika masyarakat ingin memperoleh wilayah politik yang bebas dari intervensi atau kendali dari pihak asing, maka mereka harus mengarahkan kekuatan mereka dan menyebarkan kekuatannya untuk tujuan tersebut. Yakni mereka harus mengorganisasikan dirinya sendiri kedalam negara yg kuat dan efektif, dan dengan cara inilah mereka dapat mempertahankan kepentingannya, sistem negara-negara mengarah pada konflik dan anarki internasional.
 Berdasarkan perkembangan sejarah yang telah berlangsung mengenai sistem anarki internasional, interpretasinya terhadap bukti-bukti sejarah, Morgenthau berpendapat bahwa semua kebijakan luar negeri cenderung cocok untuk merefleksikan salah satu dari ketiga pola aktivitas ; Memelihara keseimbangan kekusaan (balance power), Imperialisme dan politik prestise (mengesankan negara-negara lain takut dengan tingkat kekuasaan satu negara). Baik keseimbangan kekuatan, imperialisme maupun prestise menjadi pilihan untuk menentukan tujuan politik luar negeri baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Bagi Morgenthau, membedakan etika politik dan etika pribadi dari para negaraawan. Hal ini tentunya menimbulkan etika politik tertentu yg dikaitkan dengan ketatanegaraan yg bertanggung jawab. Negarawan dan negarawati yg bertanggung jawab tidak hanya bebas seperti penguasa yg berdaulat, untuk bertindak dengan cara yg bijaksana. Mereka harus benar-benar sadar bahwa mobilisasi dan pelaksanaan kekuasaan politik dalam masalah-masalah luar negeri pasti akan menimbulkan dilema moral, tindakan-tindakan jahat. Kesadaran bahwa tujuan politik (yakni mempertahankan kepentingan nasional selama masa perang), kadang-kadang harus membenarkan cara-cara bermoral dapat dipermasalahkan/ternoda, seperti pengeboman kota-kota. Etika politik sama artinya dengan etika situasional yang didalamnya meliputi kebijaksanaan politik, seperti kehati-hatian, kesederhanaan, penilaian, keputusan, keberanian, dst. Semua itu adalah nilai-nilai tertinggi dalam etika politik. Dalam politik internasional disebutkan bahwa dilema keamanan tidak dapat terelakkan, sehingga terdapat anggapan dalam realisme neo-klasik ; bahwa tindakan jahat terkadang harus diambil, untuk mencegah kejahatan yg lebih besar.
Morgenthau, menyimpulkan Teori HI dalam 6 prinsip politik realisme politik, sebagai berikut ;
1.    Politik berakar dalam sifat manusia yg permanen dan tidak berubah yg pada dasarnya mementingkan diri sendiri (self-centered, self regarding dan self-interested);
2.    Politik adalah “wilayah tindakan otonom” dan oleh karena itu tidak dapat terlepas dari masalah-masalah ekonomi (konsep yg ditawarkan oleh Marxis) ;
3.    Kepentingan pribadi adalah fakta mendasar bahwa kondisi manusia, dimana seluruh rakyat memiliki minat yg sangat rendah dalam hal memperjuangkan keamanan dan kelangsungan hidupnya. Politik adalah arena mengekspresikan kepentingan-kepentingan yg cepat atau lambat akan segera menjadi sebuah konflik. Politik internasional adalah arena kepentingan2 negara yg sedang berkonflik, tetapi kepentingan2 tidaklah tetap, karena dunia selalu berubah2 dan kepentinganpun berubah kapanpun dan dimanapun.
4.    Etika hubungan internasional adalah etika situasional atau politis yang sangat jauh berbeda dengan moralitas pribadi. Seorang pemimpin politik tidak memiliki kebebasan yg sama untuk melakukan sesuatu yg benar seperti yg dimiliki  warga negara pribadi.
5.    Kaum realis menentang pemikiran bahwa bangsa-bangsa tertentu, sekalipun bangsa yg sangat demokratis seperti AS dapat memaksakan ideologinya pada bangsa lain dan dapat menggunakan kekuatannya dalam mendukung tindakan tadi. Kaum realis menentangnya, karena mereka melihat aktivitas berbahaya yg mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Pada akhirnya, hal tersebut dapat berbalik mengancam negara yg sedang berjuang.
6.    Seni bernegara adalah aktivitas sederhana dan cenderung membosankan yg menimbulkan suatu kesadaran penuh akan keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia. Pandangan manusia yg pesimistik sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yg kita harapkan bersama adalah suatu kenyataan yg sulit dalam inti politik internasional.
Waltz dan Neo-realisme
Pemikir kaum neorealis kontemporer yang terkemuka dan tidak diragukan lagi adalah Kenneth Waltz (1979). Ia mengambil beberapa elemen realisme klasik dan neo-klasik sebagai titik awal, misalnya ; negara-negara merdeka hidup dan bergerak dalam sistem anarki internasional. Tidak seperti teori Morgenthau (1985), Ia tidak memberikan pertimbangan terhadap sifat manusia dan mengabaikan etika ketatanegaraan. Buku Theory of International Politicskarya Waltz (1979) berupaya memberikan penjelasan ilmiah mengenai sistem politik internasional. Dalam pandangan Waltz, teori HI terbaik adalah neorealis yg intinya memfokuskan pada struktur sistem, pada unit-unitnya yg saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan sistem. Oleh karenanya teori neorealis ini dikenal juga dengan istilah lain realisme strukturalis, karena didalamnya struktur sistem sangat diperhatikan, khususnya distribusi kekuatan relatif yang dijadikan fokus analitis utama. Aktor-aktor kurang begitu penting, sebab struktur memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur-struktur pada dasarnya menentukan tindakan-tindakan.
Menurut teori Neorealis Waltz, bentuk dasar hubungan internasional adalah struktur anarki yang tersebar antar negara-negara. Negara-negara serupa dalam semua hal fungsi dasarnya, yakni disamping perbedaan budaya, atau ideologi, konstitusi dan personal, mereka semua menjalankan tugas2 dasar yg sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak,menjalankan kebijakan luar negeri, dan sebagainya. Perbedaan negara-negara mengacu pada kapabilitas mereka yg sangat beragam. Dengan kata lain, Waltz mengungkapkan unit-unit negara dari sistem internasional ; “dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa.... struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem” (Waltz,1979: 97). Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika negara-negara berkekuatan besar muncul dan tenggelam, dan dengan demikian perimbangan kekuatan bergeser. Alat-alat yg khas dari perubahan itu adalah perang negara-negara berkekuatan besar.
Negara-negara sangat penting dalam menentukan perubahan-perubahan dalam struktur internasional adalah negara-negara berkekuatan besar. Perimbangan kekuatan diantara negara-negara dapat dicapai, tetapi perang selalu menjadi kemungkinan dalam sistem yg anarkis. Waltz membedakan antara sistem bipolar, seperti yg terjadi selama masa Perang Dingin antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat, dan sistem multipolar yg terjadi sebelum dan sesudah Perang Dingin. Waltz yakin bahwa sistem bipolar akan lebih stabil, karena sistem ini menyediakan jaminan perdamaian dan keamanan yg lebih baik dibandingkan sistem multipolar. “Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak dan memelihara sistem” (Waltz 1979 : 204). Hal itu disebabkan dalam memelihara sistem tersebut mereka memelihara dirinya sendiri. Menurut pandangan ini, Perang Dingin merupakan periode stabilitas dan perdamaian internasional.
Hipotesis-hipotesis ini mungkin secara historis problematis sepanjang AS dan Uni Soviet mengambil tindakan bersama(Yakni kerjasama) di awal 1990-an untuk menghentikan persaingan militer internasional dan karenanya mengkihiri sistem bipolar dan Perang Dingin. Dalam hal perubahan bersejarah itu, Uni Soviet gagal bertahan dan sejumlah negara pengganti yg lebih kecil ikut bermunculan dalam wilayahnya, yang paling penting adalah Rusia. Mengingat berakhirnya Perang Dingin, teori Neorealisme ini perlu direvisi untuk menggabungkan kemungkinan sejarah dimana dua negara berkekuatan besar mungkin dalam keadaan-keadaan tertentu menghentikan sistem bipolar dari pada melanggengkannya tanpa terlibat dalam perang, dimana salah satu dari mereka dikalahkan. Masalah ini masih menjadi perdebatan diantara penstudi HI, apakah AS mengalahkan Uni Soviet dalam Perang Dingin ataukah Uni Soviet dibawah presiden Gorbachev, mengakhirinya dengan mundur dalam medan pertempuran. Kaum Neorealis cenderung memilih pandangan pertama.
Tabel Teori Neorealis Waltz ; Struktur dan hasil
Struktur Internasional
(Unit dan Hubungan Negara)
Hasil-hasil internasional
(Efek Persaingan Negara)

Anarki Internasional
Perimbangan kekuatan
Negara sebagai unit-unit serupa
Pengulangan internasional
Kapabilitas negara yg berbeda
Konflik internasional, perang
Hubungan negara-negara berkekuatan besar
Perubahan internasional

Dalam mengembangkan teorinya, Waltz menggunakan teori realisme klasik dan neoklasik  sebagai asumsi dan pemikiran intinya. Sebagai contoh, ia menggunakan konsep anarki internasional dan memfokuskan secara khusus pada negara-negara. Ia menganggap bahwa perhatian dasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan bahwa tugas utama hubungan internasional adalah perdamaian dan keamanan.
Neorealisme berbeda dengan realisme klasik dan neoklasik dalam beberapa hal mendasar yang membuat pendekatannya berbeda, seperti dalam pandangan Morgenthau, sangat fokus pada bahasan mengenai sifat manusia. Sedangkan pada neorealisme berfokus pada struktus sistem dan bukan pada manusia yang menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Para pemimpin negara adalah tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinisnya yg memberi petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Tidak ada tempat dalam teori Waltz bagi pembuatan kebijakan luar negeri yang bebas dari struktur sistem. Dengan demikian contoh kaum neorealis akan memandang kebijakan Gorbachev (Uni Soviet) yg mundur dari Perang Dingin karena dipaksa oleh ‘kekalahan’ Uni Soviet di tangan Amerika Serikat. Dalam pandangan ini, Gorbachev tidak mengawali kebijakan karena alasan domestik atau karena alasan idelogis. Gambaran Waltz atas peran para pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri hampir menyerupai gambaran mekanis yg pilihan-pilihan mereka dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yg mereka hadapi, seperti yg ditekankan Waltz sbb ;
“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan ; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur, kalkulasi yg berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan2 yg akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara. Keberhasilan adalah ujian terakhir kebijakan itu, dan keberhasilan dapat didefinisikan sebagai upaya memelihara dan memperkuat Negara..... Hambatan-hambatan struktural menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaan-perbedaan dalam manusia dan negara-negara yg menggunakannya.” (Waltz 1979 : 117)

Neorealime Waltz membuat kurang lebih aturan-aturan bagi ketatanegaraan dan diplomasi dari pada realisme yang ditawarkan terdahulu. Argumen Waltz pada dasarnya merupakan teori determinan dimana struktur menentukan kebijakan. Hal ini mengarahkan pemikiran realis klasik tentang pentingnya struktur internasional dalam kebijakan luar negeri pada suaru titik diluar realisme klasik ataupun neoklasik, yang selalu membuat ketentuan bagi politik dan etika ketatanegaraan (Morgenthau, 1985).
Waltz (1979) juga memperhatikan mengenai konsep kepentingan nasional : “masing-masing negara menetapkan cara yang dipikirnya terbaik menjalankan kepentingannya”. Bagi kaum realis klasik, kepentingan nasional merupakan petunjuk dasar kebijakan luar negeri, yang bertanggungjawab (sama halnya pemikiran moral yg harus dipertahankan dan dimajukan oleh para pemimpin negara). Dengan demikian, kepentingan nasional terlihat bergerak seperti sinyal otomatis yg memerintahkan para pemimpin negara kapan dan kemana harus bergerak. Disini terdapat perbedaan mengenai kepentingan nasional dari Morgenthau dan Waltz. Menurut Morgenthau, bahwa setiap pemimpin negara wajib melaksanakan kebiajakan luar negerinya berdasarkan kepentingan nasionalnya, dan mereka wajib dipersalahkan apabila terjadi kegagalan dalam merebut kepentingan nasionalnya. Menurut Waltz, menghipotesiskan bahwa mereka (pemimpin negara) pada dasarnya secara otomatis akan melakukan hal tersebut, meskipu tidak mengacu pada petunjuk yang diwajibkan dalam kepentingan nasional.
Waltz berpendapat bahwa negara-negara berkekuatan besar adalah mereka yg mengatur sistem internasional. Kaum realis klasik dan neoklasik berpendapat mereka harus mengatur sistem tersebut, dan mereka akan mendapat kritik apabila mereka gagal memelihara ketertiban internasional. Anggapan-anggapan bahwa negara berkekuatan besar menjadi Penanggungjwab utama dalam pemikiran kaum realis tradisional yang didukung juga dengan pemikiran dsar Masyarakat Internasional. Negara-negara berkekuatan besar dipahami oleh Waltz, memiliki kepentingan besar dalam sistem mereka dan bagi manajemennya dari sistem tersebut bukan hanya sesuatu yg menjanjikan tetapi juga sesuatu yang ‘bermanfaat’. Sangat jelas Waltz menilai ketertiban internasional dan yakin bahwa ketertiban internasional lebih mungkin dicapai dalam bentuk sistem bipolar daripada sistem multipolar. Perbedaan antara neorealisme dan realisme klasik dan neoklasik dalam hal ini Waltz menganggapnya sebagai sesuatu yg memang sudah semestinya terjadi, sedangkan Morgenthau dan realis klasik menganggapnya sebagai norma penting dalam menilai kebijakan luar negeri negara-negara berkekuatan besar.
            Dalam mewujudkan ketertiban internasional lebih mudah dicapai melalui sistem bipolar (Waltz), ada tiga alasan mendasarinya yakni ;
1.      Jumlah konflik negara-negara berkekuatan besar lebih sedikit, dan hal itu mengurangi kemungkinan perang negara-negara berkekuatan besar ;
2.      Lebih mudah menjalankan sisrem penangkalan yang efektif, sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat ;
3.      Hanya ada dua kekuatan yang mendominasi sistem tersebut, dimana kesempatan untuk terjadinya salah perhitungan dan salah tindakan akan sangat rendah. Karena sedikit yang campur tangan yang akan menjadi pemicu. Singkatnya, dua super power yang bersaing terus-menerus.






Sumber-sumber :
Robert Jackson & George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009).
Martin Grifftith. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar