Laman

Minggu, 05 November 2017

DEMOKRASI YANG CACAT DI KONGO




Konsolidasi demokratisasi di setiap negara pasti menjadi tujuan utama dalam menjalankan pemerintahan. Sebagaimana diketahui bahwa demokrasi sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, utamanya Hak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu. Jika ada satu negara yang belum menjalankan demokratisasi dengan baik dan menimbulkan penderitaan bagi penduduknya, maka pasti menimbulkan respon atau reaksi internasional, baik dari negara maupun organisasi internasional. Hal ini disebabkan karena perwujudan demokrasi dan kemanusiaan menjadi isu yang sangat krusial di negara-negara yang telah menganut sistem demokrasi, seperti negara-negara barat dan sebagian negara-negara di Asia. Apa yang diderita oleh penduduk di salah satu negara dalam bidang kemanusiaan, maka akan dirasakan oleh penduduk dibelahan dunia lainnya.
Republik Demokratik Kongo merupakan salah satu negara di kawasan Afrika Tengah, yang saat ini sedang menghadapi masalah dalam perwujudan demokrasi. Sejak kemerdekaannya tahun 1960 Kongo tengah menghadapi berbagai masalah mengenai demokrasi, yang cenderung disebabkan oleh kegagalan pemimpinnya sendiri. Tahun 1965-1997 Kongo yg pada saat itu bernama Zeire diperintah oleh seorang diktator Mobutu Sese Seko, dia adalah pemimpin terkorup pada masa itu. Dia mencarter pesawat Concorde untuk membawa keluarganya dari rumahnya di Gbadolite menuju ke Paris untuk berbelanja. Dia bahkan membangun landasan kapal terbang besar untuk menampung pesawat tersebut dari uang rakyatnya. Kediktatoran Mobutu ini mendapatkan reaksi penolakan keras dari rakyat Kongo dan memaksanya untuk turun dari jabatannya. Rezim Mobutu ini berhasil dijatuhkan oleh Laurent Kabila yang kemudian mengganti nama negara tersebut menjadi Republic Democratic of Congo (RDC). Kongo merupakan salah satu negara di kawasan Afrika yang kaya akan sumber daya alam, utamanya mineral. Meskipun begitu, Kongo masuk kategori negara termiskin karena belum mampu mengelola kekayaan sumber daya alamnya dengan baik.
Akibat konspirasi kepemimpinan pada masa Laurent Kabila yang pada awalnya dipengaruhi oleh dua negara yakni Rwanda dan Uganda. Laurent menjalin kedekatan dengan kedua negara ini, karena pernah dibantu dalam menggulingkan pemerintahan Mobutu Sese Seko. Proses pemerintahan Laurent Kabila ini selalu dipengaruhi oleh kedua negara ini, khususnya dalam eksplor sumber daya alam RDC yang berlebihan dan menyalahi aturan (tanpa seizin dari Presiden Kongo). Hal ini mengakibatkan Laurent mulai mengambil langkah tegas untuk mencopot para petinggi pemerintah di kedua negara tersebut. Hal ini mengakibatkan timbulnya upaya pembunuhan terhadap Presiden Kongo yang dibantu oleh ajudan pribadi Laurent Kabila. Pada saat itu timbul kekacauan di kongo, timbul bentrok antara pemerintah dengan kelompok pemberontak internal yang di dukung oleh Rwanda dan Uganda. Sementara Kongo sendiri dibantu oleh negara Zimbabwe, Angola dan Namibia. Kemajemukan masalah internal yang dihadapi RDK, seperti banyaknya kelompok etnik, kurangnya infrastruktur yang memadai, tingkat pendidikan yang rendah, serta sistem pemerintahan yang buruk mengakibatkan terbunuhnya presiden Laurent Kabila pada Bulan Januari 2001. Pasca meninggalnya presiden Laurent Kabila, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya, Joseph Kabila.
Meskipun belum berpengalaman dalam memerintah, putra Laurent Kabila ini menempuh berbagai cara untuk mempertahankan keamanan di negaranya. Presiden Joseph ini mengambil langkah perdamaian dengan melibatkan Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan) sebagai mediator pada tahun 2002. Namun upaya ini belum mampu menyelematkan rakyat Kongo dari pertempuran antarmilisi dan kemiskinan. Kekuasaan keluarga Kabila ini menyebabkan ingin menguasai Republik Demokratik Kongo secara keseluruhan dan secara turun-temurun. Sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara pihak oposisi dan koalisi.
Perubahan bentuk pemerintahan dari otoriter menuju demokrasi tidak menunjukkan perubahan dalam demokratisasi negara penghasil mineral ini. Dua periode berturut-turut pemilihan umum dimenangkan oleh Joseph Kabila, pada Pemilu tahun 2006 Kabila memperoleh sebanyak 111. Sementara itu lawannya dari partai UDPS, Tshisekedi hanya mendapatkan 41 kursi. Pada bulan November tahun 2011 pemerintah Republik Rakyat Kongo resmi mendeklarasikan kepemimpinan lanjutan dari Presiden Joseph Kabila. Kabila memenangkan 63 kursi dari 500 kursi di Majelis Nasional. Kekacauan mewarnai pemilihan umum pertama dan kedua ini, Pengamat hak asasi manusia mengatakan setidaknya 24 orang telah tewas terbunuh oleh pasukan keamanan sejak pemilu pertama dilangsungkan. Pihak oposisi menolak hasil pemilihan umum  yang dimenangkan oleh Joseph Kabila, lawan politik utama Etienne Tshisekedi tidak terima dengan keputusan Komisi pemilihan umum Kongo, karena menganggap bahwa hasil suara kemenangan Joseph Kabila ini merupakan ‘provokasi’ terhadap penolakan kepemimpinan Kabila. Setelah terpilihnya Kabila menjadi presiden, terjadi kekacauan baik di dalam negeri Kongo maupun di luar negeri. Para imigran Kongo di berbagai negara juga melakukan aksi protes menentang Presiden Joseph Kabila. Di London, polisi menahan 143 orang Sabtu sore setelah sekelompok demonstran yang marah pindah dari lokasi yang sudah disepakati dan mulai mengganggu arus lalu lintas, serta menyebabkan kerusakan pada toko-toko dan bangunan. Demonstrasi juga terjadi di Belgia, bekas penguasa kolonial di Afrika yang kaya hasil bumi, dan juga di Amerika.
Dari sudut pandang struktural, sistem politik demokrasi secara ideal, adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Dalam artian, demokrasi memungkingkan adanya perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara kelompok individu dan pemerintah. Bahkan antar lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi, demokrasi hanya akan memberi jalan bagi konflik yang tidak menghancurkan sistem. Untuk itu, sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai pada “penyelesaian” dalam bentuk kesepakatan (konsensus). Prinsip ini pula yang mendasari terbenruknya identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi kewenangan dan hubungan politik dan ekonomi. (Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Hlm 228).
Demokratisasi yang berlangsung di Kongo menunjukkan demokrasi yang cacat, karena menunjukkan kekuasaan keluarga Kabila secara turun-temurun dan tidak memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk memimpin negara yang bernama Republik Demokratik Kongo ini. Hal ini dibuktikan ketidakadilan dalam proses pemilihan umum yang berlangsung di negara ini. Misalnya penundaan terhadap pemilihan umum kembali yang seharusnya di adakan pada bulan Oktober 2017, karena pada akhir tahun 2016 masa kepemimpinan Presiden Joseph Kabila sudah berakhir. Namun dengan alasan tidak memiliki anggaran dana yang cukup untuk melaksanakan pemilu, Mahkamah Konstitusi Kongo mengumumkan untuk menunda pemilu yang akan diadakan pada April 2018. Pihak oposisi menolak keras penundaan ini, karena menganggap bahwa dengan menunda pelaksanaan pemilihan umum di tahun 2017 berarti melindungi keberlangsungan kekuasaan Kabila sebagai calon Incumbent yang telah menguasai Kongo sejak tahun 2001 sejak terbunuhnya sang Ayah Laurent Kabila.
Berdasarkan proses demokrasi Kabila seharusnya  turun dari jabatannya pada Desember 2017, saat masa pemerintahan keduanya berakhir dan lawannya mengatakan mengkhawatirkan dia berniat memperpanjang masa jabatannya serta kemudian mengubah undang-undang dasar, yang akan membolehkannya kembali mencalonkan diri. Koalisi berkuasa dan sebagian oposisi mengatakan bahwa pemilihan umum sebaiknya diadakan pada April 2018 dan pada Senin, kesepakatan mereka disahkan perwakilan di pembicaraan lintas partai di ibu kota, kata pemimpin partai. Sebagian besar partai oposisi memboikot pembicaraan itu dan mengajak berunjuk rasa pada Rabu untuk menekan Kabila. Mereka diperkirakan lebih dibuat marah saat pengadilan melanggar ketentuan mereka sendiri dalam mengeluarkan keputusan Senin (30/10/2017). Jika dilihat berdasarkan sistem politik demokrasi yang telah diberlakukan di negara ini, seharusnya terdapat keseimbangan antara konflik dan konsensus. Tidak masalah jika dalam suatu negara diadakan pemilu yang didalamnya diwarnai dengan perbedaan pendapat, persaingan politik dan pertentangan antara kelompok masyarakat dengan pemerintah. Namun perbedaan-perbedaan ini seharusnya tidak menghancurkan sistem demokrasi yang ada, yakni sistem Demokrasi yang dianut Republik Demokratik Kongo.
Perjalanan demokrasi di negara bagian Afrika Tengah ini tidak berjalan mulus. Pergolakan masyarakat dan pihak oposisi yang menolak kelanggengan kekuasaan Kabila ini menyebabkan kerusuhan di berbagai kota, khususnya di Ibu Kota negara ini  yakni Kinshasa. Terjadi baku tembak antara pihak anggota keamanan negara dengan penduduk sipil (oposisi). Kekacuan ini menimbulkan respon dari berbagai negara, khususnya negara-negara yang sangat memperjuangkan demokrasi dan menyuarakan keadilan Hak Asasi Manusia, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia.
Presiden Amerika Serikat Donald Trumph telah menyampaikan kepada para pemimpin di Afrika, bahwa akan mengirimkan Duta besar untuk PBB Nikki Haley ke Republik Demokratik Kongo, karena kaprihatinan Trumph terhadap kekerasan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo. Hal ini disampaikan Trumph disela-sela pertemuan makan siang pada pertemuan sidang PBB yang juga di hadiri oleh para pemimpin Afrika. Trumph mengatakan bahwa “Jutaan jiwa terancam dan kami harus memberikan bantuan kemanusiaan, namun hasil nyata dalam menghentikan bencana ini membutuhkan proses perdamaian yang di pimpin oleh orang Afrika, serta didukung oleh komitmen serius dari semua pihak yang terlibat”. Trumph menambahkan bahwa Niki Haley akan membahas berbagai konflik dan resolusi dan yang terpenting adalah upaya pencegahannya. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Kongo ini merupakan salah satu upaya untuk menolong Kongo keluar dari keresahan yang meningkat akibat bentrokan pemerintah dengan rakyat, serta ketidakpastian pemilu. Selain itu, AS menganggap bahwa enam dari sepuluh negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat berada di Afrika.
Menteri luar negeri Uni Eropa mengatakan pada Senin (30/10/2017) bahwa mereka akan mempersiapkan sejumlah sanksi ekonomi terhadap Kongo kecuali jika mereka secepatnya mengadakan pemilihan presiden dan anggota parlemen yang adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang ikut prihatin dengan apa yang terjadi di Kongo. Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Republik Demokratik Kongo ditempuh dengan cara mengirimkan Pasukan Polisi dan TNI sudah siap untuk membantu mengamankan aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak desember tahun 2016. Karena situasi yang tidak kunjung membaik maka, pasukan TNI Kontingan Garuda XX-C dalam mengamankan pelaksanaan pemilu di Kongo diperpanjang hingga tahun 2017.
Betapa pentingnya pelaksanaan demokrasi yang adil bagi sebuah negara, karena jika sebuah negara sudah menyatakan diri sebagai negara  dengan sistem demokrasi politik, seharusnya mampu menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan sesuai dengan Hak asasi manusia. Apa yang terjadi di Republik Demokratik Kongo ini menunjukkan bahwa negara yang berlabel Negara demokrasi ini, belum mampu menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dengan adil. Terjadinya penembakan antara para aparat pemerintah dengan rakyat Kongo, protes terhadap kelanggengan kekuasaan Kabila, Kemiskinan dan buruknya pemerintahan Kabila menimbulkan kekacauan dalam negeri. Hal ini menimbulkan respon masyarakat internasional dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia. Sistem demokrasi politik seharusnya mampu menyelaraskan konflik dan konsensus, dimana bila terjadi konflik (perbedaan pendapat, pertentangan kelompok pemerintah dan rakyat serta persaingan politik), seharusnya mampu diatasi konsesus yang disepakati oleh semua pihak dan tentunya harus menguntungkan semua pihak bukan sekelompok orang saja.

Sumber :
Buku :
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992.
Website :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar