Laman

Rabu, 25 Oktober 2017

Diplomasi dan Hubungan Internasional



Perkembangan hubungan internasional secara terus menerus membutuhkan sebuah proses perundingan dan lobby-lobby politik untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing negara. Proses ini dikenal dengan istilah diplomasi, sedangkan pelaku/subjek yang melakukan perundingan atau proses diplomasi disebut Diplomat.
A.           Pengertian dan Fungsi Diplomasi

Sir Ernest Satow sejak tahun 1922 mendefinisikan Diplomasi sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah yang berdaulat, kadangkala diperluas dengan hubungan antara negara-negara jajahannya.
Barston, juga memberikan pendapat mengenai diplomasi sebagai manajemen hubungan antar negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Negara, melalui perwakilan resmi dan aktor-aktor lain berusaha menyampaikan, mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional khusus atau yang lebih luas, yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan dan aktivitas-aktivitas lainnya yang terkait. Meskipun diplomasi bergubungan dengan aktivitas-aktivitas yang damai, dapat juga terjadi di dalam kondisi perang atau konflik bersenjata, karena tugas utama diplomasi tidak hanya manajemen konflik, namun juga manajemen perubahan dan pemeliharannya dengan cara melakukan persuasi yang terus menerus ditengah-tengah perubahan yang sedang berlangsung.
Diplomasi mewakili tekanan politik, ekonomi dan militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam pertukaran permintaan dan konsensi antara para pelaku negoisasi.
Sebagai seorang aktor diplomatik, pekerjaan diplomatik bukanlah menyusun kebijakan ; peranan itu dimainkan oleh politikus dan negarawan. Seperti yang dikemukakan oleh Clark, diplomat mungkin menentang kebijakan politik negara tempat dia bekerja dan negara yang diwakili, tetapi mereka tetap diharapkan untuk menyampaikan kebijakan tersebut dan mendukung bahkan jika kebijakan tersebut tidak mereka yakini secara pribadi. Sebagai pelaksana kebijakan luar negeri, diplomat menyampaikan detail kebijakan pemerintahan negara lain, menjelaskannya, dan memperoleh dukungan dan jika dikehendaki, menegoisasikan kesepakatan untuk meningkatkan dan mewujudkannya.

B.            Sejarah dan Tugas Diplomasi
Awal perkembangan diplomasi terjadi di negara-negara bagian Eropa/Amerika Utara. Beberapa ahli politik menyebutkan terdapat beberapa perbedaan diplomasi yang diterapkan di negara-negara Eropa/Amerika Utara. Lebih jauh lagi, terdapat banyak literatur mengenai cara pandang Islam, India dan China mengenai hubungan antar negara dan peran seorang Duta dalam menjaga hubungan-hubungan tersebut. Misalnya, Arthasasra dalam karangan Kautilya, kitab dari jaman India Kuno yg membahas mengenai politik dan administrasi, banyak membahas masalah ini. Dalam buku ini membahas mengenai Hubungan dengan negara-negara luar dan negoisasi dilaksanakan oleh Duta besar atau Envoy. Arthasasrtra mengidentifikasi ada tiga tipe Duta : Nisrsrarta, yaitu Duta Besar berkuasa penuh, Parimitarta, yang memiliki kekuasaan terbatas dalam melakukan perundingan, dan Sasanahara, yang kedudukannya sedikit lebih tinggi daripada pembawa pesan. Dikatakan pula bahwa duta harus ditempatkan di seluruh rajamandala (dunia) yang mengimplikasikan bahwa memposisikan Duta Besar tetap di luar negeri.
Tugas-tugas seorang Duta dalam Arthasastra termasuk mengirimkan informasi keluar kepada Rajanya dan memastikan bahwa isi-isi dalam sebuah traktat dilaksanakan, menngkonsolidasikan aliansi, atau merancang huru-hara dan kekacauan di luar negeri. Tugas-tugas lainnya adalah menyelundupkan tentara secara rahasia ke negara lain, mendapatkan harta dari pangeran negara asing, membantu pelarian seorang pangeran atau Raja, dan menunjukkan keberanian jika diperlukan. Tugas lainnya termasuk percobaan mempengaruhi dan menggoda pejabat dari negara asing agar mengalihkan kesetiaan dari Rajanya dan mengalihkan kepada kesetiaan Raja sendiri. Jadi jelaslah bahwa seorang envoy seringkali diharapkan memainkan peran sebagai agen rahasia atau mata-mata yang terhormat.
Selain di India, Cina juga terdapat perkembangan studi diplomasi yang diperkenalkan pertama kali oleh Confusius (lahir 2500 tahun yang lalu di Cina). Dasar ajarannya adalah penolakan untuk mempercayai bahwa perang merupakan sebuah kondisi yang alami dalam masyarakat. Dia mengajarkan bahwa kerjasama merupakan suatu proses yang wajar, untuk bekerja keras, bukan untuk saling memanfaatkan, tetapi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Pada opininya, keberhasilan seorang penguasa harus diukur melalui kemampuannya, bukan untuk saling memanfaatkan kekayaan dan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk mewujudkan kejejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Confisius juga mengajarkan prinisip-prinsip dan teknik-teknik protokol dalam praktek diplomasi, sejarah, puisi dan menyelenggarakan upacara-upacara.
Dalam konsep Islam juga dibahas mengenai ide negara-negara universal yang berdasarkan pada kesamaan manusia. Dalam hukum Islam, hak-hak musuh banyak dibahas, baik dalam kondisi damai dan perang, hak-hak tersebut seperti yang digariskan oleh Nabi Muhammad dan dalam Al-Qur’an. Hukum internasional dalam Islam mencoba mengatur pelaksanaan sebuah negara Islam dan menerapkan dasar yang paling adil, tidak saja menyangkut hubungan dengan sesama negara Islam, tetapi huga dengan negara-negara non-Islam. Hukum Islam juga mengatur mengenai masalah kesepakatan, bea-cukai, dasar politik dan otoritas pemerintahan. [1]
Untuk mencapai kepentingan nasional, keterampilan dalam berdiplomasi merupakan syarat utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang pada dasarnya dipergunakan dimana tujuan-tujuan pemerintah saling bertentangan. Diplomasi dapat diselenggarakan dalam pertemuan khusus atau konferensi umum.
Diplomasi memiliki tugas utama yakni untuk merubah kebijakan, tindakan, tujuan dan sikap pemerintahan negara lain dan diplomat-diplomatnya melalui persuasi, menawarkan penghargaan, saling bertukar konsesi, atau mengirimkan ancaman.
Keberhasilan kegiatan diplomasi dapat dinilai dati tujuan awalmula. Diplomat melakukan diplomasi untuk mengejar kepentingan nasionalnya dengan cara saling tukar-menukar informasi secara terus-menerus dengan negara lain atau rakyat di negara lain. Tujuan persuasif antar negara adalah untuk merubah sikap dan tingkah laku lawannya.
Sebuah kelemahan mendasar dari semua pendekatan diplomasi dan peran diplomat adalah mereka mengasumsikan bahwa negara beroperasi di dalam latar belakang politik, ekonomi dan budaya yang sama. Hal ini mungkin merupakan asumsi yang benar jika diterapkan dalam praktek diplomasi internasional seperti yang dikenal pada abad ke-19 sampai abad ke-20. Pada waktu itu, diplomasi baru berkembang di kawasan yang sama, yakni Eropa. Akan tetapi, asumsi ini semakin tidak dapat diterima sejak abad ke-20 sampai saat ini, karena semakin banyak negara-negara Non-Barat di Asia dan Afrika dan Amerika Latin yang memperoleh kemerdekaan penuh, dan mulai memainkan peran yang semakin penting dalam masalah internasional.
Abad lalu telah ditandai dengan perubahan-perubahan yang luar biasa dengan adanya revolusi teknologi informasi. Revolusi tersebut mengarah pada perubahan penting dalam praktek diplomasi khususnya dalam peran diplomat dan peran Deplu. Selain itu, terdapat peningkatan peran media massa, tumbuhnya aktor-aktor yang melaksanakan diplomasi jalur kedua, serta meningkatnya peran NGOs dan INGOs.

C.           Pengaturan dan Proses Diplomasi

Diplomasi erat kaitannya dengan politik luar negeri, karena diplomasi merupakan impelemtasi dari kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terlatih. Di beberapa negara, kebijakan luar negeri dirancang dan diformulasikan oleh Menlu dan Staf Deplu. Pelaksanaan diplomasi bilateral dan multilateral serta kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh para diplomat dan perwakilan-perwakilan yang ditempatkan di luar negeri dan di dalam organisasi-organisasi internasional.
Teori sistem dapat digunakan untuk menjelaskan kaitan antara diplomasi dengan kebijakan luar negeri. Seperti yg dikemukakan oleh Jervis, sebuah sistem dibentuk oleh kenyataan yang berubah di satu bagian sistem serta menyebabkan terjadinya perubahan di bagian lainnya. Perubahan dalam kebijakan luar negeri akan merubah praktik diplomasinya. Kondisi ini akan mengarah pada implikasi sistem yang berat : konsekuensi tingkah laku seringkali tidak diharapkan atau tidak disengaja oleh para aktor diplomasi.
Selanjutnya teori sistem yang digunakan dalam diplomasi ialah pengkondisian. Kebijakan luar negeri akan dirancang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh staf diplomatiknya. Suatu tindakan diplomasi tidak dapat dilaksanakan tanpa didukung oleh suatu kebijakan luar negeri. Hubungan antara dua aktor akan tergantung sebagian pada hubungan diantara aktor-aktor tersebut dan aktor lainnya yang terdapat dalam sistem. Hal ini berarti bahwa apakah aktor-aktor akan bekerjasama atau menentang satu sama lain akan dipengaruhi oleh aktor diluar hubungan bilateral mereka.
Lebih jauh lagi, sistem saling terkait satu sama lain ; terjadi di satu wilayah akan berpengaruh terhadap wilayah lainnya. Perubahan-perubahan dalam hubungan antara dua negara akan mengarah pada perubahan didalam kebijakan luar negeri negara lainnya. Didalam sistem, kebijakan telah bercabang-cabang dan meluas melalui waktu dan tempat yang jauh.
            Keberhasilan atau kegagalan diplomasi akan tergantung tidak hanya pada manajemen hubungan internasional yang dilakukan oleh para diplomat yang ditempatkan diluar negeri, tetapi juga tergantung pada arahan dari Menlu dan Direktur Jenderal. Cohen secara khusus mencatat bahwa pengaruh diplomasi terhadap kebijakan luar negeri di negara-negara yang sedang berkembang yang menganut sistem pemerintahan yang terpusat, eksekutif pusat yang kuat, birokrasi yang relatif lemah dan dasar pembentukan kebijakan yang sempit. Kepala Negara lebih senang melakukan negoisasi secara langsung atau melakukan diplomasi personal ; dalam hal ini lingkungan dekat Presiden (emisaries) seringkali bukan berasal dari kalangan diplomatik. Tidak adanya kegiatan pengambilan keputusan yang interaktif cenderung memperlemah peran birokrasi dan khususnya departemen luar negeri.
D.  Tujuan Diplomasi
            Keberhasilan diplomasi dapat dilihat dari tujuan awalnya, yakni untuk mencapai kepentingan nasional sebuah negara. Seorang diplomat melaksanakan fungsi diplomasi dengan cara saling bertukar informasi secara kontinu baik dengan negara lain maupun dengan rakyat yang ada di negara lain. Bagi negara tujuan persuasifnya agar dapat merubah sikap dan tingkah laku negara lain (lawannya).
E.       Pengaruh Teknologi Modern dalam Diplomasi
            Perkembangan arus globalisasi di abad-21 mempengaruhi peningkatan teknologi  informasi di setiap negara. Sehingga negara-negara harus menilik kembali pelaksanaan proses diplomasi. Dengan adanya teknologi memungkinkan peran dan tugas para diplomat dan peran Duta Besar berkurang secara signifikan. Hal ini disebabkan seluruh kegiatan komunikasi dapat dilakukan dari jarak jauh, dimanapun para Diplomat dan Dubes berada dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
            Harold Nicholson mengungkapkan : “Dengan perkembangan komunikasi, peran dan fungsi seorang Diplomat telah semakin berkurang sehingga diplomat sekarang telah menurun statusnya menjadi juru tulis yang bertugas mencatat pesan-pesan telepon”.[2] Dalam penerapannya dilapangan, hubungan diplomatik negara-negara baik itu Bilateral ataupun Multilateral sangat membutuhkan komunikasi dan informasi. Seorang mantan Menlu AS, George Schulz menyatakan “bahan mentah diplomasi adalah informasi, bagaimana memperolehnya, menilainya dan menempatkannya kedalam sistem untuk kepentingan dan untuk membingungkan pihak lain”.[3]
            Seiring perkembangan teknologi informasi terjadi perubahan-perubahan dalam proses diplomasi, Barry Fulton mengungkapkan “negara-negara sebelumnya terhubung oleh Departemen Luar Negeri dan aktivitas perdagangan, sekarang terhubung melalui berjuta-juta individu dengan memakai saluran serat optik, satelit, telepon tanpa kabel, dan dengan kabel, surat elektronik (email) dalam sebuah jaringan yang kompleks tanpa pengawasan terpusat”.[4] Waktu dan tempat tidak lagi menjadi penting dan tidak lagi menjadi isu yang relevan, menyebabkan kegiatan diplomasi tradisional harus berjuang keras mempertahankan relevansinya”.[5]
            Selain terjadi revolusi teknologi informasi yang mengharuskan perubahan dalam praktek diplomasi, terjadi pula perubahan-perubahan lainnya seperti, meningkatnya peran media massa, globalisasi bisnis dan keuangan, meningkatnya partisipasi masyarakat di dalam kegiatan hubungan internasional, serta masalah-masalah kompleks lainnya, yang dapat menghapus batas nasional sebuah negara.
            Barry Fulton, mengusulkan agar pelaksanaan diplomasi ditinjau kembali agar dapat mengikuti perubahan-perubahan global yang terjadi. Diplomasi pada masa modern dapat dilaksankan bukan hanya oleh Kementrian Luar Negeri, namun juga oleh kegiatan-kegiatan perdagangan, pertanian dan organisasi-organisasi lainnya yang terkait dengan masalah-masalah internasional dan untuk menerapkan manajemen perubahan. Lebih lanjut, adanya kebutuhan untuk menetapkan sebuah standar yang lebih lengkap mengenai penunjukkan Duta Besar karir maupun Duta Besar Politis sebagai suatu sinyal terdapatnya tuntutan profesionalisme dan pendelegasian kewenangan Kedutaan Besar. Perubahan Paradigma dalam diplomasi termasuk meningkatnya kemampuan teknologi informasi, sehingga dapat memenuhi standar kerjasama antar negara. Seperti kegiatan menyediakan state of art jaringan komputer dan sambungan elektronik agar informasi dapat diperoleh di manage, serta disebarkan secara lebih efektif dan efisien.[6]
           


Sumber : Sukawarsini Djelantik. Diplomasi antara Teori dan Praktik. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008).




[2] R.P Barston, Modern Diplomacy, Longman, N.Y 1997 hlm.1
[3] George P.Shulz, “Keynote Address from the Virtual Diplomacy Conference : The Information Revolution and International Conflict Management”, Peace Works18. Lihat di  http://www.usip.org/pubs/virtual118/vdip_18.html

[4] Barry Fulton, Reinventing Diplomacy in the Information Age, CSIS Washington D.C, 1998, lihat di http://www.csis.org/ics/dia.
[5] Ibid

[6] Lord Palmerston dalam Barston, Modern Diplomacy, hlm 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar