Konsolidasi demokratisasi di setiap
negara pasti menjadi tujuan utama dalam menjalankan pemerintahan. Sebagaimana
diketahui bahwa demokrasi sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia,
utamanya Hak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu. Jika ada satu negara yang
belum menjalankan demokratisasi dengan baik dan menimbulkan penderitaan bagi
penduduknya, maka pasti menimbulkan respon atau reaksi internasional, baik dari
negara maupun organisasi internasional. Hal ini disebabkan karena perwujudan
demokrasi dan kemanusiaan menjadi isu yang sangat krusial di negara-negara yang
telah menganut sistem demokrasi, seperti negara-negara barat dan sebagian
negara-negara di Asia. Apa yang diderita oleh penduduk di salah satu negara
dalam bidang kemanusiaan, maka akan dirasakan oleh penduduk dibelahan dunia
lainnya.
Republik Demokratik Kongo merupakan
salah satu negara di kawasan Afrika Tengah, yang saat ini sedang menghadapi
masalah dalam perwujudan demokrasi. Sejak kemerdekaannya tahun 1960 Kongo
tengah menghadapi berbagai masalah mengenai demokrasi, yang cenderung
disebabkan oleh kegagalan pemimpinnya sendiri. Tahun 1965-1997 Kongo yg pada
saat itu bernama Zeire diperintah oleh seorang diktator Mobutu Sese Seko, dia
adalah pemimpin terkorup pada masa itu. Dia mencarter pesawat Concorde untuk membawa keluarganya dari
rumahnya di Gbadolite menuju ke Paris untuk berbelanja. Dia bahkan membangun
landasan kapal terbang besar untuk menampung pesawat tersebut dari uang
rakyatnya. Kediktatoran Mobutu ini mendapatkan reaksi penolakan keras dari
rakyat Kongo dan memaksanya untuk turun dari jabatannya. Rezim Mobutu ini
berhasil dijatuhkan oleh Laurent Kabila yang kemudian mengganti nama negara
tersebut menjadi Republic Democratic of Congo (RDC). Kongo merupakan salah satu
negara di kawasan Afrika yang kaya akan sumber daya alam, utamanya mineral.
Meskipun begitu, Kongo masuk kategori negara termiskin karena belum mampu
mengelola kekayaan sumber daya alamnya dengan baik.
Akibat
konspirasi kepemimpinan pada masa Laurent Kabila yang pada awalnya dipengaruhi
oleh dua negara yakni Rwanda dan Uganda. Laurent menjalin kedekatan dengan
kedua negara ini, karena pernah dibantu dalam menggulingkan pemerintahan Mobutu
Sese Seko. Proses pemerintahan Laurent Kabila ini selalu dipengaruhi oleh kedua
negara ini, khususnya dalam eksplor sumber daya alam RDC yang berlebihan dan
menyalahi aturan (tanpa seizin dari Presiden Kongo). Hal ini mengakibatkan
Laurent mulai mengambil langkah tegas untuk mencopot para petinggi pemerintah
di kedua negara tersebut. Hal ini mengakibatkan timbulnya upaya pembunuhan
terhadap Presiden Kongo yang dibantu oleh ajudan pribadi Laurent Kabila. Pada
saat itu timbul kekacauan di kongo, timbul bentrok antara pemerintah dengan
kelompok pemberontak internal yang di dukung oleh Rwanda dan Uganda. Sementara
Kongo sendiri dibantu oleh negara Zimbabwe, Angola dan Namibia. Kemajemukan
masalah internal yang dihadapi RDK, seperti banyaknya kelompok etnik, kurangnya
infrastruktur yang memadai, tingkat pendidikan yang rendah, serta sistem
pemerintahan yang buruk mengakibatkan terbunuhnya presiden Laurent Kabila pada
Bulan Januari 2001. Pasca meninggalnya presiden Laurent Kabila, pemerintahan
dilanjutkan oleh putranya, Joseph Kabila.
Meskipun belum
berpengalaman dalam memerintah, putra Laurent Kabila ini menempuh berbagai cara
untuk mempertahankan keamanan di negaranya. Presiden Joseph ini mengambil
langkah perdamaian dengan melibatkan Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika
Selatan) sebagai mediator pada tahun 2002. Namun upaya ini belum mampu
menyelematkan rakyat Kongo dari pertempuran antarmilisi dan kemiskinan.
Kekuasaan keluarga Kabila ini menyebabkan ingin menguasai Republik Demokratik
Kongo secara keseluruhan dan secara turun-temurun. Sehingga menyebabkan
terjadinya konflik antara pihak oposisi dan koalisi.
Perubahan
bentuk pemerintahan dari otoriter menuju demokrasi tidak menunjukkan perubahan dalam
demokratisasi negara penghasil mineral ini. Dua periode berturut-turut pemilihan
umum dimenangkan oleh Joseph Kabila, pada Pemilu tahun 2006 Kabila memperoleh
sebanyak 111. Sementara itu lawannya dari partai UDPS, Tshisekedi hanya
mendapatkan 41 kursi. Pada bulan November tahun 2011 pemerintah Republik Rakyat
Kongo resmi mendeklarasikan kepemimpinan lanjutan dari Presiden Joseph Kabila.
Kabila memenangkan 63 kursi dari 500 kursi di Majelis Nasional. Kekacauan
mewarnai pemilihan umum pertama dan kedua ini, Pengamat hak asasi manusia
mengatakan setidaknya 24 orang telah tewas terbunuh oleh pasukan keamanan sejak
pemilu pertama dilangsungkan. Pihak oposisi menolak hasil pemilihan umum yang dimenangkan oleh Joseph Kabila, lawan
politik utama Etienne Tshisekedi tidak terima dengan keputusan Komisi pemilihan
umum Kongo, karena menganggap bahwa hasil suara kemenangan Joseph Kabila ini
merupakan ‘provokasi’ terhadap penolakan kepemimpinan Kabila. Setelah
terpilihnya Kabila menjadi presiden, terjadi kekacauan baik di dalam negeri
Kongo maupun di luar negeri. Para imigran Kongo di berbagai negara juga
melakukan aksi protes menentang Presiden Joseph Kabila. Di London, polisi
menahan 143 orang Sabtu sore setelah sekelompok demonstran yang marah pindah
dari lokasi yang sudah disepakati dan mulai mengganggu arus lalu lintas, serta
menyebabkan kerusakan pada toko-toko dan bangunan. Demonstrasi juga terjadi di
Belgia, bekas penguasa kolonial di Afrika yang kaya hasil bumi, dan juga di
Amerika.
Dari sudut
pandang struktural, sistem politik demokrasi secara ideal, adalah sistem
politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Dalam
artian, demokrasi memungkingkan adanya perbedaan pendapat, persaingan dan
pertentangan antara kelompok individu dan pemerintah. Bahkan antar
lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi, demokrasi hanya akan memberi jalan
bagi konflik yang tidak menghancurkan sistem. Untuk itu, sistem politik
demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan
konflik sampai pada “penyelesaian” dalam bentuk kesepakatan (konsensus).
Prinsip ini pula yang mendasari terbenruknya identitas bersama, hubungan
kekuasaan, legitimasi kewenangan dan hubungan politik dan ekonomi. (Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Hlm 228).
Demokratisasi
yang berlangsung di Kongo menunjukkan demokrasi yang cacat, karena menunjukkan
kekuasaan keluarga Kabila secara turun-temurun dan tidak memberikan kesempatan
bagi pihak lain untuk memimpin negara yang bernama Republik Demokratik Kongo
ini. Hal ini dibuktikan ketidakadilan dalam proses pemilihan umum yang
berlangsung di negara ini. Misalnya penundaan terhadap pemilihan umum kembali
yang seharusnya di adakan pada bulan Oktober 2017, karena pada akhir tahun 2016
masa kepemimpinan Presiden Joseph Kabila sudah berakhir. Namun dengan alasan
tidak memiliki anggaran dana yang cukup untuk melaksanakan pemilu, Mahkamah
Konstitusi Kongo mengumumkan untuk menunda pemilu yang akan diadakan pada April
2018. Pihak oposisi menolak keras penundaan ini, karena menganggap bahwa dengan
menunda pelaksanaan pemilihan umum di tahun 2017 berarti melindungi
keberlangsungan kekuasaan Kabila sebagai calon Incumbent yang telah menguasai
Kongo sejak tahun 2001 sejak terbunuhnya sang Ayah Laurent Kabila.
Berdasarkan
proses demokrasi Kabila seharusnya turun
dari jabatannya pada Desember 2017, saat masa pemerintahan keduanya berakhir
dan lawannya mengatakan mengkhawatirkan dia berniat memperpanjang masa
jabatannya serta kemudian mengubah undang-undang dasar, yang akan
membolehkannya kembali mencalonkan diri. Koalisi berkuasa dan sebagian oposisi
mengatakan bahwa pemilihan umum sebaiknya diadakan pada April 2018 dan pada
Senin, kesepakatan mereka disahkan perwakilan di pembicaraan lintas partai di
ibu kota, kata pemimpin partai. Sebagian besar partai oposisi memboikot pembicaraan
itu dan mengajak berunjuk rasa pada Rabu untuk menekan Kabila. Mereka
diperkirakan lebih dibuat marah saat pengadilan melanggar ketentuan mereka
sendiri dalam mengeluarkan keputusan Senin (30/10/2017). Jika dilihat
berdasarkan sistem politik demokrasi yang telah diberlakukan di negara ini,
seharusnya terdapat keseimbangan antara konflik dan konsensus. Tidak masalah
jika dalam suatu negara diadakan pemilu yang didalamnya diwarnai dengan
perbedaan pendapat, persaingan politik dan pertentangan antara kelompok
masyarakat dengan pemerintah. Namun perbedaan-perbedaan ini seharusnya tidak
menghancurkan sistem demokrasi yang ada, yakni sistem Demokrasi yang dianut
Republik Demokratik Kongo.
Perjalanan
demokrasi di negara bagian Afrika Tengah ini tidak berjalan mulus. Pergolakan
masyarakat dan pihak oposisi yang menolak kelanggengan kekuasaan Kabila ini
menyebabkan kerusuhan di berbagai kota, khususnya di Ibu Kota negara ini yakni Kinshasa. Terjadi baku tembak antara
pihak anggota keamanan negara dengan penduduk sipil (oposisi). Kekacuan ini
menimbulkan respon dari berbagai negara, khususnya negara-negara yang sangat
memperjuangkan demokrasi dan menyuarakan keadilan Hak Asasi Manusia, seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia.
Presiden
Amerika Serikat Donald Trumph telah menyampaikan kepada para pemimpin di
Afrika, bahwa akan mengirimkan Duta besar untuk PBB Nikki Haley ke Republik
Demokratik Kongo, karena kaprihatinan Trumph terhadap kekerasan yang terjadi di
Republik Demokratik Kongo. Hal ini disampaikan Trumph disela-sela pertemuan
makan siang pada pertemuan sidang PBB yang juga di hadiri oleh para pemimpin
Afrika. Trumph mengatakan bahwa “Jutaan jiwa terancam dan kami harus memberikan
bantuan kemanusiaan, namun hasil nyata dalam menghentikan bencana ini
membutuhkan proses perdamaian yang di pimpin oleh orang Afrika, serta didukung
oleh komitmen serius dari semua pihak yang terlibat”. Trumph menambahkan bahwa
Niki Haley akan membahas berbagai konflik dan resolusi dan yang terpenting
adalah upaya pencegahannya. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap
Kongo ini merupakan salah satu upaya untuk menolong Kongo keluar dari keresahan
yang meningkat akibat bentrokan pemerintah dengan rakyat, serta ketidakpastian
pemilu. Selain itu, AS menganggap bahwa enam dari sepuluh negara dengan
pertumbuhan ekonomi tercepat berada di Afrika.
Menteri luar
negeri Uni Eropa mengatakan pada Senin (30/10/2017) bahwa mereka akan
mempersiapkan sejumlah sanksi ekonomi terhadap Kongo kecuali jika mereka
secepatnya mengadakan pemilihan presiden dan anggota parlemen yang adil dan
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia merupakan salah satu negara
di Asia Tenggara yang ikut prihatin dengan apa yang terjadi di Kongo. Kebijakan
luar negeri Indonesia terhadap Republik Demokratik Kongo ditempuh dengan cara
mengirimkan Pasukan Polisi dan TNI sudah siap untuk membantu mengamankan aksi
unjuk rasa yang berlangsung sejak desember tahun 2016. Karena situasi yang
tidak kunjung membaik maka, pasukan TNI Kontingan Garuda XX-C dalam mengamankan
pelaksanaan pemilu di Kongo diperpanjang hingga tahun 2017.
Betapa
pentingnya pelaksanaan demokrasi yang adil bagi sebuah negara, karena jika
sebuah negara sudah menyatakan diri sebagai negara dengan sistem demokrasi politik, seharusnya
mampu menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan sesuai dengan Hak
asasi manusia. Apa yang terjadi di Republik Demokratik Kongo ini menunjukkan
bahwa negara yang berlabel Negara demokrasi ini, belum mampu menjalankan
prinsip-prinsip demokrasi dengan adil. Terjadinya penembakan antara para aparat
pemerintah dengan rakyat Kongo, protes terhadap kelanggengan kekuasaan Kabila,
Kemiskinan dan buruknya pemerintahan Kabila menimbulkan kekacauan dalam negeri.
Hal ini menimbulkan respon masyarakat internasional dari Amerika Serikat, Uni
Eropa dan Indonesia. Sistem demokrasi politik seharusnya mampu menyelaraskan
konflik dan konsensus, dimana bila terjadi konflik (perbedaan pendapat,
pertentangan kelompok pemerintah dan rakyat serta persaingan politik),
seharusnya mampu diatasi konsesus yang disepakati oleh semua pihak dan tentunya
harus menguntungkan semua pihak bukan sekelompok orang saja.
Sumber :
Buku :
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu
Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992.
Website :
https://www.voaindonesia.com/a/trump-akan-kirim-dubes-as-di-pbb-ke-sudan-selatan-kongo-/4037991.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar