Perkembangan
hubungan internasional secara terus menerus membutuhkan sebuah proses
perundingan dan lobby-lobby politik untuk mencapai kepentingan nasional
masing-masing negara. Proses ini dikenal dengan istilah diplomasi, sedangkan
pelaku/subjek yang melakukan perundingan atau proses diplomasi disebut
Diplomat.
A.
Pengertian
dan Fungsi Diplomasi
Sir
Ernest Satow sejak tahun 1922 mendefinisikan Diplomasi sebagai aplikasi
intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah yang
berdaulat, kadangkala diperluas dengan hubungan antara negara-negara
jajahannya.
Barston,
juga memberikan pendapat mengenai diplomasi sebagai manajemen hubungan antar
negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional
lainnya. Negara, melalui perwakilan resmi dan aktor-aktor lain berusaha
menyampaikan, mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional khusus
atau yang lebih luas, yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak
resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan dan
aktivitas-aktivitas lainnya yang terkait. Meskipun diplomasi bergubungan dengan
aktivitas-aktivitas yang damai, dapat juga terjadi di dalam kondisi perang atau
konflik bersenjata, karena tugas utama diplomasi tidak hanya manajemen konflik,
namun juga manajemen perubahan dan pemeliharannya dengan cara melakukan
persuasi yang terus menerus ditengah-tengah perubahan yang sedang berlangsung.
Diplomasi
mewakili tekanan politik, ekonomi dan militer kepada negara-negara yang
terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam pertukaran
permintaan dan konsensi antara para pelaku negoisasi.
Sebagai
seorang aktor diplomatik, pekerjaan diplomatik bukanlah menyusun kebijakan ;
peranan itu dimainkan oleh politikus dan negarawan. Seperti yang dikemukakan
oleh Clark, diplomat mungkin menentang kebijakan politik negara tempat dia
bekerja dan negara yang diwakili, tetapi mereka tetap diharapkan untuk
menyampaikan kebijakan tersebut dan mendukung bahkan jika kebijakan tersebut
tidak mereka yakini secara pribadi. Sebagai pelaksana kebijakan luar negeri,
diplomat menyampaikan detail kebijakan pemerintahan negara lain, menjelaskannya,
dan memperoleh dukungan dan jika dikehendaki, menegoisasikan kesepakatan untuk
meningkatkan dan mewujudkannya.
B.
Sejarah
dan Tugas Diplomasi
Awal
perkembangan diplomasi terjadi di negara-negara bagian Eropa/Amerika Utara.
Beberapa ahli politik menyebutkan terdapat beberapa perbedaan diplomasi yang
diterapkan di negara-negara Eropa/Amerika Utara. Lebih jauh lagi, terdapat
banyak literatur mengenai cara pandang Islam, India dan China mengenai hubungan
antar negara dan peran seorang Duta dalam menjaga hubungan-hubungan tersebut.
Misalnya, Arthasasra dalam karangan Kautilya, kitab dari jaman India Kuno yg
membahas mengenai politik dan administrasi, banyak membahas masalah ini. Dalam
buku ini membahas mengenai Hubungan dengan negara-negara luar dan negoisasi
dilaksanakan oleh Duta besar atau Envoy. Arthasasrtra mengidentifikasi ada tiga tipe Duta : Nisrsrarta, yaitu Duta Besar berkuasa
penuh, Parimitarta, yang memiliki
kekuasaan terbatas dalam melakukan perundingan, dan Sasanahara, yang kedudukannya
sedikit lebih tinggi daripada pembawa pesan. Dikatakan pula bahwa duta harus
ditempatkan di seluruh rajamandala (dunia) yang mengimplikasikan bahwa
memposisikan Duta Besar tetap di luar
negeri.
Tugas-tugas
seorang Duta dalam Arthasastra termasuk mengirimkan informasi keluar kepada
Rajanya dan memastikan bahwa isi-isi dalam sebuah traktat dilaksanakan,
menngkonsolidasikan aliansi, atau merancang huru-hara dan kekacauan di luar
negeri. Tugas-tugas lainnya adalah menyelundupkan tentara secara rahasia ke negara
lain, mendapatkan harta dari pangeran negara asing, membantu pelarian seorang
pangeran atau Raja, dan menunjukkan keberanian jika diperlukan. Tugas lainnya
termasuk percobaan mempengaruhi dan menggoda pejabat dari negara asing agar
mengalihkan kesetiaan dari Rajanya dan mengalihkan kepada kesetiaan Raja
sendiri. Jadi jelaslah bahwa seorang envoy seringkali diharapkan memainkan
peran sebagai agen rahasia atau mata-mata yang terhormat.
Selain
di India, Cina juga terdapat perkembangan studi diplomasi yang diperkenalkan
pertama kali oleh Confusius (lahir 2500 tahun yang lalu di Cina). Dasar
ajarannya adalah penolakan untuk mempercayai bahwa perang merupakan sebuah
kondisi yang alami dalam masyarakat. Dia mengajarkan bahwa kerjasama merupakan
suatu proses yang wajar, untuk bekerja keras, bukan untuk saling memanfaatkan,
tetapi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Pada opininya, keberhasilan
seorang penguasa harus diukur melalui kemampuannya, bukan untuk saling
memanfaatkan kekayaan dan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi
untuk mewujudkan kejejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Confisius juga
mengajarkan prinisip-prinsip dan teknik-teknik protokol dalam praktek diplomasi,
sejarah, puisi dan menyelenggarakan upacara-upacara.
Dalam
konsep Islam juga dibahas mengenai ide negara-negara universal yang berdasarkan
pada kesamaan manusia. Dalam hukum Islam, hak-hak musuh banyak dibahas, baik
dalam kondisi damai dan perang, hak-hak tersebut seperti yang digariskan oleh
Nabi Muhammad dan dalam Al-Qur’an. Hukum internasional dalam Islam mencoba
mengatur pelaksanaan sebuah negara Islam dan menerapkan dasar yang paling adil,
tidak saja menyangkut hubungan dengan sesama negara Islam, tetapi huga dengan
negara-negara non-Islam. Hukum Islam juga mengatur mengenai masalah
kesepakatan, bea-cukai, dasar politik dan otoritas pemerintahan. [1]
Untuk mencapai
kepentingan nasional, keterampilan dalam berdiplomasi merupakan syarat utama
seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang pada dasarnya
dipergunakan dimana tujuan-tujuan pemerintah saling bertentangan. Diplomasi
dapat diselenggarakan dalam pertemuan khusus atau konferensi umum.
Diplomasi
memiliki tugas utama yakni untuk merubah kebijakan, tindakan, tujuan dan sikap
pemerintahan negara lain dan diplomat-diplomatnya melalui persuasi, menawarkan
penghargaan, saling bertukar konsesi, atau mengirimkan ancaman.
Keberhasilan
kegiatan diplomasi dapat dinilai dati tujuan awalmula. Diplomat melakukan
diplomasi untuk mengejar kepentingan nasionalnya dengan cara saling
tukar-menukar informasi secara terus-menerus dengan negara lain atau rakyat di
negara lain. Tujuan persuasif antar negara adalah untuk merubah sikap dan
tingkah laku lawannya.
Sebuah kelemahan
mendasar dari semua pendekatan diplomasi dan peran diplomat adalah mereka
mengasumsikan bahwa negara beroperasi di dalam latar belakang politik, ekonomi
dan budaya yang sama. Hal ini mungkin merupakan asumsi yang benar jika diterapkan
dalam praktek diplomasi internasional seperti yang dikenal pada abad ke-19
sampai abad ke-20. Pada waktu itu, diplomasi baru berkembang di kawasan yang
sama, yakni Eropa. Akan tetapi, asumsi ini semakin tidak dapat diterima sejak
abad ke-20 sampai saat ini, karena semakin banyak negara-negara Non-Barat di
Asia dan Afrika dan Amerika Latin yang memperoleh kemerdekaan penuh, dan mulai
memainkan peran yang semakin penting dalam masalah internasional.
Abad lalu telah
ditandai dengan perubahan-perubahan yang luar biasa dengan adanya revolusi
teknologi informasi. Revolusi tersebut mengarah pada perubahan penting dalam
praktek diplomasi khususnya dalam peran diplomat dan peran Deplu. Selain itu,
terdapat peningkatan peran media massa, tumbuhnya aktor-aktor yang melaksanakan
diplomasi jalur kedua, serta meningkatnya peran NGOs dan INGOs.
C.
Pengaturan
dan Proses Diplomasi
Diplomasi erat
kaitannya dengan politik luar negeri, karena diplomasi merupakan impelemtasi
dari kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terlatih.
Di beberapa negara, kebijakan luar negeri dirancang dan diformulasikan oleh
Menlu dan Staf Deplu. Pelaksanaan diplomasi bilateral dan multilateral serta
kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh para diplomat dan perwakilan-perwakilan
yang ditempatkan di luar negeri dan di dalam organisasi-organisasi
internasional.
Teori sistem
dapat digunakan untuk menjelaskan kaitan antara diplomasi dengan kebijakan luar
negeri. Seperti yg dikemukakan oleh Jervis, sebuah sistem dibentuk oleh kenyataan
yang berubah di satu bagian sistem serta menyebabkan terjadinya perubahan di
bagian lainnya. Perubahan dalam kebijakan luar negeri akan merubah praktik
diplomasinya. Kondisi ini akan mengarah pada implikasi sistem yang berat :
konsekuensi tingkah laku seringkali tidak diharapkan atau tidak disengaja oleh
para aktor diplomasi.
Selanjutnya
teori sistem yang digunakan dalam diplomasi ialah pengkondisian. Kebijakan luar
negeri akan dirancang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh staf
diplomatiknya. Suatu tindakan diplomasi tidak dapat dilaksanakan tanpa didukung
oleh suatu kebijakan luar negeri. Hubungan antara dua aktor akan tergantung
sebagian pada hubungan diantara aktor-aktor tersebut dan aktor lainnya yang
terdapat dalam sistem. Hal ini berarti bahwa apakah aktor-aktor akan
bekerjasama atau menentang satu sama lain akan dipengaruhi oleh aktor diluar
hubungan bilateral mereka.
Lebih jauh lagi, sistem
saling terkait satu sama lain ; terjadi di satu wilayah akan berpengaruh
terhadap wilayah lainnya. Perubahan-perubahan dalam hubungan antara dua negara
akan mengarah pada perubahan didalam kebijakan luar negeri negara lainnya.
Didalam sistem, kebijakan telah bercabang-cabang dan meluas melalui waktu dan
tempat yang jauh.
Keberhasilan atau kegagalan diplomasi
akan tergantung tidak hanya pada manajemen hubungan internasional yang
dilakukan oleh para diplomat yang ditempatkan diluar negeri, tetapi juga
tergantung pada arahan dari Menlu dan Direktur Jenderal. Cohen secara khusus mencatat bahwa pengaruh diplomasi terhadap
kebijakan luar negeri di negara-negara yang sedang berkembang yang menganut
sistem pemerintahan yang terpusat, eksekutif pusat yang kuat, birokrasi yang
relatif lemah dan dasar pembentukan kebijakan yang sempit. Kepala Negara lebih
senang melakukan negoisasi secara langsung atau melakukan diplomasi personal ;
dalam hal ini lingkungan dekat Presiden (emisaries)
seringkali bukan berasal dari kalangan diplomatik. Tidak adanya kegiatan
pengambilan keputusan yang interaktif cenderung memperlemah peran birokrasi dan
khususnya departemen luar negeri.
D.
Tujuan
Diplomasi
Keberhasilan diplomasi dapat dilihat
dari tujuan awalnya, yakni untuk mencapai kepentingan nasional sebuah negara.
Seorang diplomat melaksanakan fungsi diplomasi dengan cara saling bertukar
informasi secara kontinu baik dengan negara lain maupun dengan rakyat yang ada
di negara lain. Bagi negara tujuan persuasifnya agar dapat merubah sikap dan
tingkah laku negara lain (lawannya).
E.
Pengaruh
Teknologi Modern dalam Diplomasi
Perkembangan
arus globalisasi di abad-21 mempengaruhi peningkatan teknologi informasi di setiap negara. Sehingga
negara-negara harus menilik kembali pelaksanaan proses diplomasi. Dengan adanya
teknologi memungkinkan peran dan tugas para diplomat dan peran Duta Besar
berkurang secara signifikan. Hal ini disebabkan seluruh kegiatan komunikasi
dapat dilakukan dari jarak jauh, dimanapun para Diplomat dan Dubes berada
dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Harold Nicholson mengungkapkan :
“Dengan perkembangan komunikasi, peran dan fungsi seorang Diplomat telah
semakin berkurang sehingga diplomat sekarang telah menurun statusnya menjadi
juru tulis yang bertugas mencatat pesan-pesan telepon”.[2]
Dalam penerapannya dilapangan, hubungan diplomatik negara-negara baik itu
Bilateral ataupun Multilateral sangat membutuhkan komunikasi dan informasi.
Seorang mantan Menlu AS, George Schulz menyatakan “bahan mentah diplomasi
adalah informasi, bagaimana memperolehnya, menilainya dan menempatkannya
kedalam sistem untuk kepentingan dan untuk membingungkan pihak lain”.[3]
Seiring perkembangan teknologi
informasi terjadi perubahan-perubahan dalam proses diplomasi, Barry Fulton
mengungkapkan “negara-negara sebelumnya terhubung oleh Departemen Luar Negeri
dan aktivitas perdagangan, sekarang terhubung melalui berjuta-juta individu
dengan memakai saluran serat optik, satelit, telepon tanpa kabel, dan dengan
kabel, surat elektronik (email) dalam sebuah jaringan yang kompleks tanpa
pengawasan terpusat”.[4]
Waktu dan tempat tidak lagi menjadi penting dan tidak lagi menjadi isu yang
relevan, menyebabkan kegiatan diplomasi tradisional harus berjuang keras
mempertahankan relevansinya”.[5]
Selain terjadi revolusi teknologi
informasi yang mengharuskan perubahan dalam praktek diplomasi, terjadi pula
perubahan-perubahan lainnya seperti, meningkatnya peran media massa,
globalisasi bisnis dan keuangan, meningkatnya partisipasi masyarakat di dalam
kegiatan hubungan internasional, serta masalah-masalah kompleks lainnya, yang
dapat menghapus batas nasional sebuah negara.
Barry Fulton, mengusulkan agar
pelaksanaan diplomasi ditinjau kembali agar dapat mengikuti perubahan-perubahan
global yang terjadi. Diplomasi pada masa modern dapat dilaksankan bukan hanya
oleh Kementrian Luar Negeri, namun juga oleh kegiatan-kegiatan perdagangan,
pertanian dan organisasi-organisasi lainnya yang terkait dengan masalah-masalah
internasional dan untuk menerapkan manajemen perubahan. Lebih lanjut, adanya
kebutuhan untuk menetapkan sebuah standar yang lebih lengkap mengenai penunjukkan
Duta Besar karir maupun Duta Besar Politis sebagai suatu sinyal terdapatnya
tuntutan profesionalisme dan pendelegasian kewenangan Kedutaan Besar. Perubahan
Paradigma dalam diplomasi termasuk meningkatnya kemampuan teknologi informasi,
sehingga dapat memenuhi standar kerjasama antar negara. Seperti kegiatan
menyediakan state of art jaringan komputer dan sambungan elektronik agar
informasi dapat diperoleh di manage,
serta disebarkan secara lebih efektif dan efisien.[6]
Sumber :
Sukawarsini Djelantik. Diplomasi antara
Teori dan Praktik. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008).
[2] R.P Barston, Modern Diplomacy, Longman, N.Y 1997 hlm.1
[3] George P.Shulz, “Keynote Address from the Virtual Diplomacy Conference
: The Information Revolution and International Conflict Management”, Peace
Works18. Lihat di http://www.usip.org/pubs/virtual118/vdip_18.html
[4] Barry Fulton, Reinventing Diplomacy in the Information Age, CSIS
Washington D.C, 1998, lihat di http://www.csis.org/ics/dia.
[5] Ibid
[6] Lord Palmerston dalam Barston, Modern Diplomacy, hlm 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar