1. Terminologi
Analisis Politik Luar Negeri (APLN)
Berbicara mengenai epistomologi Politik Luar Negeri, sama
halnya ingin menjawab pertanyaan “Dengan Cara apa yang kita dapat lakukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang Dunia?”. Namun sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, perlu terlebih dahulu mengetahui apa-apa saja yang menjadi fokus
dalam APLN (Analisis Politik Luar Negeri) atau TPLN (Teori Politik Luar
Negeri).
Dalam membahas Politik Luar Negeri (PLN), ada dua jenis
terminologi penting yang perlu dijelaskan sejak awal, yakni Teori-teori
Hubungan Internasional (THI) atau istilah lainnya Teori Politik Internasional
(TPI) dan Teori2 Politik Luar Negeri (TPLN) yang didalamnya berisi Analisa
Politik Luar Negeri (APLN) atau yang dikenal dengan istilah Foreign Policy Analysis (FPA). Kedua
jenis terminologi ini adalah THI dan TPI dan TPLN dan APLN.
THI lebih luas daripada TPLN karena mempelajari mengenai
semua teori yang berhubungan dengan hubungan internasional dan politik luar
negeri termasuk perspektif realisme, liberalisme, konstruktivisme. Sedangkan
TPLN dan APLN muncul sebagai reaksi terhadap asumsi unitary state dari realisme pada dekade 60-an dan 70-an. Seringkali
APLN disebut sebagai sub-disiplin dari ilmu Hubungan Internasional.
Hudson memberikan defenisi mengenai APLN, adalah
sub-disiplin HI yang mencoba menjelaskan PLN atau prilaku PLN berdasarkan
landasan teoritis para pembuat keputusan yang bertindak sendirian atau
berkelompok. Beberapa ciri utama yang menjadi komitmen APLN ini adalah komitmen
untuk menganalisis dibawah level negara, yakni aktor-aktor tertentu. Komitmen
untuk membangun teori tentang aktor-aktor khusus (actor-specific theory) ini sebagai jembatan antara teori umum
tentang aktor (actor-general theory)
dengan kompleksititas dunia, komitmen untuk mengusahakan penjelasan banyak
faktor yang dibagi dalam tingkat analisis, komitmen untuk menggunakan teori dan
penemuan diberbagai macam ilmu-ilmu sosial dan komitmen ini untuk melihat
proses pembuatan keputusan PLN sama pentingnya dengan keputusan (output) itu sendiri.
Teori umum aktor (actor
general theory), yang diungkapkan diatas menjelaskan prilaku aktor secara
umum seperti game theory. Teori
tentang actor-specific theorymenjelaskan
mengenai prialku aktor-aktor khusus seperti dalam teori-teori yang digunakan
APLN. Teori-teori spesifik mungkin saja digeneralkan tetapi penerapannya lebih
kepada situasi khusus. Jadi APLN ini merupakan middle range theory yang sedikit
lebih umum daripada teori atau pemahaman yang dihasilkan dalam kajian-kajian
studi kasus, tetapi lebih terbatas dibandingkan generalisasi teori aktor umum.
Disini tidak akan dibahas mengenai THI, akan tetapi lebih fokus membahas mengenai
APLN dan TPLN. Dalam THI pembicaraan mengenai TPLN tidak secara langsung, namun
secara implisit dalam konsep-konsep realisme dan liberalisme. Sedangkan TPLN
dan APLN lebih eksplisit, mendalam dan terfokus dan langsung, baik secara
metodologi maupun teori dalam memahami kebijakan Luar Negeri suatu negara.
Membicarakan PLN tidak terlepas dari APLN. Sebelum teori-teori globalisasi
menggugat posisi state sebagai aktor tunggal yg digunakan dalam pandangan
realisme, APLN sudah memulainya lebih awal dengan menunjukkan bahwa aktor-aktor
yg berperan dalam hubungan internasional adalah banyak dan kompleks.
Para pembuat keputusan yang berdomisili dalam suatu
negara, melakukan interaksi yang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik domestik
maupun internasional. Keputusan mereka adalah hasil interaksi dengan orang atau
kelompok lain dan interpretasi mereka terhadap lingkungannya. Dalam era
globalisasi sekarang keterkaitan antara kepentingan domestik para pembuat
keputusan menjadi lebih saling terkait. Negara-negara semakin terlibat bukan
saja dalam konflik tetapi juga dalam kerjasama diberbagai tingkatan regional
dan internasional. Ini membawa kepentingan-kepentingan baru, termasuk
kepentingan bagi perdamaian, pembangunan, perlindungan alami dan berbagai isu
lainnya bagi para pembuat keputusan.
Melihat perkembangan ini,
maka Rosenau mengatakan bahwa APLN merupakan disiplin ilmu yang menjembatani (bridging discipline), suatu disiplin
ilmu dengan ‘batas-batas yang tak terbatas (limitless
boundaries) yang harus mengkaji semakin menghilangnya perbedaaan antara
isu-isu domestik dan luar negeri, antara proses sosial politik dan proses
ekonomi yang terungkap di dalam negeri terjadi di luar negeri.
Sangat penting diamati
dalam batas-batas yang tak terbatas itu adalah prilaku PLN suatu negara,
melalui tindakan-tindakan yang dilakukan, kata-kata yang digunakan untuk
mempengarhui negara lain dalam kebijakan LN. Prilaku PLN itu bisa berada dalam
keadaan konflik dan kerjasama, bisa prilaku yang tidak direncanakan dan bisa
juga tindakan yang tidak diambil oleh pemerintah.
2. Perdebatan
Metodologi Dalam HI dan APLN
Dalam
perbincangan mengenai keilmuan dalam satu disiplin ilmu selalu terjadi
perdebatan yang bersifat mendalam dan filosofis, seperti menyangkut apa ilmu
pengetahuan dan apa yang layak disebut pengetahuan serta bagaiaman cara
mendapatkannya. Dalam bidang keilmuan yang mapan seperti sains atau ilmu alam
dan teknologi, perdebatan yang terjadi hanya dalam penyempurnaan metode
penyeldikan, yang mencari cara penyelidikan atau model-model yang lebih tepat
untuk hasil yang lebih akurat.
Dalam
disiplin ilmu sosial seperti ilmu HI, perdebatan ini pasti sering terjadi. Para
ilmuan HI ingin terus memperbaikai disiplin ini agar menjadi disiplin ilmiah,
yang dapat membantu peradaban dan perdamaian dunia. Secara umum, ada dua
perdebatan metodologi utama yakni, Pertama,
perdebatan antara pendekatan metodologi tradisional atau klasik melawan
saintifik pada akhir tahun 1960-an. Kedua,
antara positivis/empiris melawan pos-positivis pada tahun 1980-an sampai
sekarang.
Pertama,
perdebatan para ilmuan HI tentang bagaimana metodologi HI yang paling ilmiah
dan dapat memenuhi standar ilmu pengetahuan, terutama yang berlaku pada konteks
tahun 1960-an-1970an, dimana ilmu sosial di dominasi oleh pendekatan behavioralisme dalam sains. Sebelum
membahas mengenai perdebatan mereka. Maka perlu dipahami bahwa baik pendekatan
saintifik maupun klasik mempunyai ambisi dan tujuan keilmuan yang sama, yakni
mencoba mencari satu penjelasan atau teori relatif akurat untuk menjelaskan
prilaku negara-negara dalam hubungan internasional. Artinya mereka mencoba
mencari keteraturan-keteraturan dalam prilaku negara berhubungan dengan negara
lainnya yang dapat dirumuskan dalam proposisi dan teori-teori tertentu.
Perintis
pendekatan saintifik ini yang sering dikenal juga dengan behaviourist adalah David Singer dan Morton Kaplan. Bagi mereka, HI
akan maju bila meniru model ilmu-ilmu alam. Positivisme merupakan filsafaat
ilmu yang dipegang oleh kaum behavioris ini. dalam positivisme, ilmu
pengetahuan muncul hanya melalui pengumpulan data yang dapat diamati. Menurut
mereka Pengumpulan data akan lebih mudah jila dilakukan mengikuti tingkat atau
level analisis, seperti individu, kelompok, state dan global. Pengumpulan data
yang cukup ini diasumsikan akan lebih mudah diidentifikasi pola-pola yang pada
gilirannya memungkinkan perumusan hukum-hukum. Penekanan pada data yang dapat
diamati ini sangatlah penting. Sebuah tulisan dari penelitian Ilmu Sosial
Universitas Chicago,AS menegaskan : if
you cannot measure it, your knowledge is meagre and unsatisfactory (jika
anda tidak bisa mengukurnya, maka pengetahuan anda tidak lengkap dan tidak
memuaskan.
Penekanan
data yang diamati dan pengukuran ini banyak di kritik oleh kaum realis dan
ilmuan HI lainnya. Banyak konsep inti kalangan realisme klasik tidak spesifik
dan susah diukur. Kekuasaan, kepentingan nasional, misalnya. Jika mau
dipelajari secara saintifik, memerlukan tingkat kejelasan dan defenisi yang
spesifik, karena sesuatu yang tidak dapat diukur dengan teliti dan dites harus
dibersihkan menurut ontologi pendekatan saintifik. Metode-metode baru kemudian
dikembangkan dan model matematika dalam proses internasional mendapatkan
posisi. Kaum behavioralis berharap bahwa melalui pengumpulan data yang tidak
kenal lelah, pengetahuan akan maju dan kontrol akan mengikuti.
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh kaum klasik lebih fokus tehadap kajian sejarah,
pengalaman para diplomat, proses diplomasi, biografi dan autobiografi mereka,
pemikiran dan pandangan filosofis yang dominan pada saat itu, yang pada umumnya
menggunakan data-data kualitatif. Sedangkan para pengusung saintifik cenderung
melakukan penyelidikan yang bersifat kuantitatif dengan menggunakan data-data
statistik yang dapat diukur, mengikuti suatu model statistik. Mereka melakukan
survei untuk mengetahui pendapat umum dan melakukan pengukuran terhadap
keteraturan yang terjadi dalam prilaku negara untuk menghasilkan teori-teori
yang akurat dalam HI.
Contohnya,
pengukuran yang dilakukan terhadap prilaku negara-negara demokrasi liberal
dalam konflik dan perang. Hasil penyelidikan mereka, misalnya menemukan bahwa
diantara sesama negara demokrasi liberal, perang amat jarang, bahkan tidak
pernah terjadi. Sementara sesama rezim otoritarian atau antara liberal dan
otoritarian sering terjadi perang. Penyelidikan ini kemudian menghasilkan
proposisi dan kadang juga disebut teori perdamaian demokratis (democratic peace preposition/theory).
Kedua,
perdebatan yang berlangsung sekitar tahun 1980-an sampai sekarang antara
positivis dan pos-positivis. Kritik pos-positivis lebih filosofis dan mendalam
karena dengan hakikat dunia sosial (nature
of the social world) atau ontologi dan hubungan antara pengetahuan kita
dengan dunia sosial itu (epistimology).
Pertanyaan ontologis yang sering timbul seperti, apakah ada suatu realitias
objektif ‘diluar sana’, apakah dunia itu hanya satu pengalaman saja, yakni
ciptaan subjektif dari manusia?
Dalam
kaitan ontologi, positivisme mempercayai adanya realitas obyektif diluar sana
sehingga sering disebut juga dengan istilah obyektivisme. HI bagi mereka adalah
suatu benda, obyek diluar sana. Pos-Positivis, sebaliknya tidak percaya pada
dunia diluar sana ; HI bagi mereka hanya ide-ide atau konsep yang dipahami
bersama oleh orang-orang, khususnya bagaimana mereka seharusnya mengelola
kehidupan mereka dan hubungan antara satu sama lainnya secara politik. HI
dibentuk secara ekslusif oleh bahasa, ide-ide dan konsep-konsep. Pos-positivis
sering juga disebut subyektivis.
Seperti
yang telah disebutkan di awal, epistimologi berkaitan dengan cara apa yang
dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia?
Para ilmuan positivis mencoba menjelaskan dunia secara saintifik atau ilmiah
melalui penyelidikan yang menghasilkan proposisi-proposisi yang secara empiris
dapat diverifikasi. Pada sisi lain, post-positivist mencoba memahami dunia.
Mereka memahami dan menginterpretasikan topik-topik yang dikaji. Bagi mereka
masalah sejarah, hukum atau moral politik dunia tidak dapat diterjemahkan dalam
bahasa ilmiah atau sains, tanpa memahaminya terlebih dahulu.
Seringkali
dua posisi ini bertentangan secara total, misalnya natra bevioralis dan
pos-modernis. Namun banyak ilmuan yang mencoba melakukan dua hal ini, yakni
menjelaskan dan memahami secara bersama-sama. Celah antara dua ekstrim itu
bukannya tidak bisa dijembatani. Pilihannya bukanlah satu atau lain, tetapi
melihatnya dalam satu kontinum karena, misalanya mengikuti pandagan pakar
konstruktivis, mereka mencoba membangun jemabatan tengan atau middle groud.
Memang dalam pandangan ekstrim tadi ada behavioralis untuk positivis dan
pos-modernis untuk pos-positivis. Tetapi diantara keduanya, kita melihat ada
teori-teori kritis dan konstruktivis, misalnya demikian juga diantara kedua
ekstrem itu ada pendekatan klasik dalam HI dan pendekatan-pendekatan etik dan
normatif.
Tabel Perdebatan Konstruktivis
dan Positivis
NO
|
KAJIAN/PENDAPAT
|
KONSTRUKTIVIS
|
POSITIVIS
|
1
|
Penekanan
|
Dapat
mengakumulasi pengetahuan yang valid tentang dunia
|
Peranan ide,
pengetahuan bersama tentang dunia internasional
|
Negara-negara
saling membentuk kerjasama satu sama lain dalam hubungan mereka dan dengan cara
ini mereka juga membentuk anarki internasional yang menentukan hubungan mereka.
Anarki, seperti yang dikatakan Wendt, bukan kondisi natural atau alamiah, namun
dibentuk oleh negara.
Pembahasan
mengenai metodologi penelitian dalam Hubungan internasional ini menunjukkan
penyokong realisme dan liberalisme menggunakan pendekatan bukan positivis,
dalam artian mereka (realisme dan liberalisme) ini tidak menggunakan metode
penelitian yang ketat dan terukur yang biasa digunakan oleh positivis. Namun
mereka memiliki tujuan yang sama yakni untuk mencari keteraturan, proposisi dan
teori dalam HI. Oleh karena itu, penumpukan dan pencarian data adalah sesuatu
yang sangat penting. Dapat disimpulkan, meraka tidak se esktrim behavioralis
dalam memahami fakta dan data, namun mereka juga tidak terlalu jauh mengikuti
post-modernisme yang menolak keberadaan fakta dan realitas ‘diluar sana’.
Para
analis politik luar negeri, baik generasi pertama maupun kedua, cenderung
menggunakan pendekatan positivis. Selain mencoba mengikuti prosedur ilmiah yang
digariskan kaum saintifik, mereka juga memilah kajian dalam level-level
analisis untuk memudahkan mereka melokalisasikan dan mengakumulasikan data.
Level analisis yang dikenal misalnya dari level individu, kelompok, birokrasi,
state dan internasional. Pemilihan level ini bagi mereka sangatlah penting agar
penelitian lebih fokus, walaupun seringkali ini berarti mengorbankan level lain
yang mungkin mempunyai penjelasan akurat dan bersifat melengkapi.
Sumber : Abubakar Eby Hara, Ph,D, Pengantar
Analisis Politik Luar Negeri Dari Realisme samapai Konstruktivisme.
(Bandung : Nuansa Cendekia, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar