Tokoh-tokoh Neo-Realisme :
1. Hans J. Morgenthau
2. Kenneth Waltz
3. Stephen Krasner
4. Susan Starnge ; etc
Sejarah Perkembangan hubungan internasional tidak
terlepas dari beberapa pendekatan utama, seperti Realisme Klasik, Realisme Neo-Klasik
dan Realisme Strukturalis (Neo-Realis). Sebelum membahas mengenai realisme
strukturalis, terlebih dahulu kita akan pahami tentang lanjutan dari teori
Realisme Klasik yakni realisme neo-klasik yang tokohnya sangat terkenal ; Hans.
J Morgenthau. Dalam karyanya Politics
Among Nationstahun 1948, didalamnya membahas mengenai teori empiris
internasional. Teori semacam ini memungkinkan peran kekuasaan membatasi ruang
lingkup dan sifat dalam dasar bidang studi politik dan pola-pola yg muncul pada
aktivitas setiap negara yang dihasilkan oleh perjuangan-perjuangan untuk
mencapai kekuasaan sepanjang proses sejarah. Lebih lanjut, Morgenthau
menganggap bahwa teorinya ini dapat digunakan/diterapkan oleh semua negara, ia
memfokuskan diri pada negara yg paling berkuasa diantara negara-negara merdeka
lainnya. Ia juga berpendapat bahwa hanya negara Adi daya yg dapat menentukan
karakter politik internasional pada periode sejarah internasional.
Morgenthau berbicara mengenai animus dominandiyang artinya manusia ‘haus’ akan kekuasaan.
Pengharapan akan kekuasaan relatif, tetapi juga pencarian wilayah politik yang
terjamian keamanannya dapat digunakan untuk mempertahankan diri sendiri dan
untuk memperoleh kebebasan diri sendiri dari pihak lain. Ini merupakan aspek
keamanan animus domandi. Wilayah keamanan politik pada akhirnya akan diperoleh
dan terbentuk dalam keadaan negara merdeka. Keamanan diluar negara merdeka
adalah mustahil.
Animus domandi, manusia tidak dapat dihindarkan dapat membawa pria dan
wanita kedalam konflik satu sama lainnya. Hal ini menciptakan kondisi politik
kekuasaan yang merupakan inti bukan hanya kaum Realisme neo-klasik, namun semua
konsepsi utama kaum realisme klasik dalam hubungan internasional. “politik
adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya,
kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-cara memperoleh, memelihara dan
menunjukkan kekuasaan menentukan teknik aksi politik” (Morgenthau 1965). Disini
Morgenthau sangat jelas mengulang konsep Machiavelli dan Hobbes, jika
masyarakat ingin memperoleh wilayah politik yang bebas dari intervensi atau
kendali dari pihak asing, maka mereka harus mengarahkan kekuatan mereka dan
menyebarkan kekuatannya untuk tujuan tersebut. Yakni mereka harus
mengorganisasikan dirinya sendiri kedalam negara yg kuat dan efektif, dan
dengan cara inilah mereka dapat mempertahankan kepentingannya, sistem
negara-negara mengarah pada konflik dan anarki internasional.
Berdasarkan
perkembangan sejarah yang telah berlangsung mengenai sistem anarki
internasional, interpretasinya terhadap bukti-bukti sejarah, Morgenthau
berpendapat bahwa semua kebijakan luar negeri cenderung cocok untuk
merefleksikan salah satu dari ketiga pola aktivitas ; Memelihara keseimbangan
kekusaan (balance power), Imperialisme
dan politik prestise (mengesankan negara-negara lain takut dengan tingkat
kekuasaan satu negara). Baik keseimbangan kekuatan, imperialisme maupun
prestise menjadi pilihan untuk menentukan tujuan politik luar negeri baik
jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Bagi Morgenthau, membedakan etika politik dan etika
pribadi dari para negaraawan. Hal ini tentunya menimbulkan etika politik
tertentu yg dikaitkan dengan ketatanegaraan yg bertanggung jawab. Negarawan dan
negarawati yg bertanggung jawab tidak hanya bebas seperti penguasa yg
berdaulat, untuk bertindak dengan cara yg bijaksana. Mereka harus benar-benar
sadar bahwa mobilisasi dan pelaksanaan kekuasaan politik dalam masalah-masalah
luar negeri pasti akan menimbulkan dilema moral, tindakan-tindakan jahat.
Kesadaran bahwa tujuan politik (yakni mempertahankan kepentingan nasional
selama masa perang), kadang-kadang harus membenarkan cara-cara bermoral dapat
dipermasalahkan/ternoda, seperti pengeboman kota-kota. Etika politik sama
artinya dengan etika situasional yang didalamnya meliputi kebijaksanaan
politik, seperti kehati-hatian, kesederhanaan, penilaian, keputusan,
keberanian, dst. Semua itu adalah nilai-nilai tertinggi dalam etika politik.
Dalam politik internasional disebutkan bahwa dilema keamanan tidak dapat
terelakkan, sehingga terdapat anggapan dalam realisme neo-klasik ; bahwa
tindakan jahat terkadang harus diambil, untuk mencegah kejahatan yg lebih
besar.
Morgenthau, menyimpulkan Teori HI dalam 6 prinsip politik
realisme politik, sebagai berikut ;
1.
Politik berakar
dalam sifat manusia yg permanen dan tidak berubah yg pada dasarnya mementingkan
diri sendiri (self-centered, self
regarding dan self-interested);
2.
Politik adalah
“wilayah tindakan otonom” dan oleh karena itu tidak dapat terlepas dari
masalah-masalah ekonomi (konsep yg ditawarkan oleh Marxis) ;
3.
Kepentingan pribadi
adalah fakta mendasar bahwa kondisi manusia, dimana seluruh rakyat memiliki
minat yg sangat rendah dalam hal memperjuangkan keamanan dan kelangsungan
hidupnya. Politik adalah arena mengekspresikan kepentingan-kepentingan yg cepat
atau lambat akan segera menjadi sebuah konflik. Politik internasional adalah
arena kepentingan2 negara yg sedang berkonflik, tetapi kepentingan2 tidaklah
tetap, karena dunia selalu berubah2 dan kepentinganpun berubah kapanpun dan
dimanapun.
4.
Etika hubungan
internasional adalah etika situasional atau politis yang sangat jauh berbeda
dengan moralitas pribadi. Seorang pemimpin politik tidak memiliki kebebasan yg
sama untuk melakukan sesuatu yg benar seperti yg dimiliki warga negara pribadi.
5.
Kaum realis
menentang pemikiran bahwa bangsa-bangsa tertentu, sekalipun bangsa yg sangat
demokratis seperti AS dapat memaksakan ideologinya pada bangsa lain dan dapat
menggunakan kekuatannya dalam mendukung tindakan tadi. Kaum realis
menentangnya, karena mereka melihat aktivitas berbahaya yg mengancam perdamaian
dan keamanan internasional. Pada akhirnya, hal tersebut dapat berbalik
mengancam negara yg sedang berjuang.
6.
Seni bernegara
adalah aktivitas sederhana dan cenderung membosankan yg menimbulkan suatu
kesadaran penuh akan keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia. Pandangan
manusia yg pesimistik sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yg kita harapkan
bersama adalah suatu kenyataan yg sulit dalam inti politik
internasional.
Waltz dan
Neo-realisme
Pemikir kaum neorealis kontemporer yang terkemuka dan
tidak diragukan lagi adalah Kenneth Waltz (1979). Ia mengambil beberapa elemen
realisme klasik dan neo-klasik sebagai titik awal, misalnya ; negara-negara
merdeka hidup dan bergerak dalam sistem anarki internasional. Tidak seperti
teori Morgenthau (1985), Ia tidak memberikan pertimbangan terhadap sifat
manusia dan mengabaikan etika ketatanegaraan. Buku Theory of International Politicskarya Waltz (1979) berupaya memberikan
penjelasan ilmiah mengenai sistem politik internasional. Dalam pandangan Waltz,
teori HI terbaik adalah neorealis yg intinya memfokuskan pada struktur sistem,
pada unit-unitnya yg saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan
sistem. Oleh karenanya teori neorealis ini dikenal juga dengan istilah lain
realisme strukturalis, karena didalamnya struktur sistem sangat diperhatikan,
khususnya distribusi kekuatan relatif yang dijadikan fokus analitis utama.
Aktor-aktor kurang begitu penting, sebab struktur memaksa mereka beraksi dengan
cara-cara tertentu. Struktur-struktur pada dasarnya menentukan
tindakan-tindakan.
Menurut teori Neorealis Waltz, bentuk dasar hubungan
internasional adalah struktur anarki yang tersebar antar negara-negara. Negara-negara
serupa dalam semua hal fungsi dasarnya, yakni disamping perbedaan budaya, atau
ideologi, konstitusi dan personal, mereka semua menjalankan tugas2 dasar yg
sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak,menjalankan kebijakan luar negeri,
dan sebagainya. Perbedaan negara-negara mengacu pada kapabilitas mereka yg
sangat beragam. Dengan kata lain, Waltz mengungkapkan unit-unit negara dari
sistem internasional ; “dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya
kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa.... struktur suatu
sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar
unit-unit sistem” (Waltz,1979: 97). Dengan kata lain, perubahan internasional
terjadi ketika negara-negara berkekuatan besar muncul dan tenggelam, dan dengan
demikian perimbangan kekuatan bergeser. Alat-alat yg khas dari perubahan itu
adalah perang negara-negara berkekuatan besar.
Negara-negara sangat penting dalam menentukan
perubahan-perubahan dalam struktur internasional adalah negara-negara
berkekuatan besar. Perimbangan kekuatan diantara negara-negara dapat dicapai,
tetapi perang selalu menjadi kemungkinan dalam sistem yg anarkis. Waltz
membedakan antara sistem bipolar, seperti yg terjadi selama masa Perang Dingin
antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat, dan sistem multipolar yg terjadi
sebelum dan sesudah Perang Dingin. Waltz yakin bahwa sistem bipolar akan lebih
stabil, karena sistem ini menyediakan jaminan perdamaian dan keamanan yg lebih
baik dibandingkan sistem multipolar. “Hanya dengan dua negara berkekuatan
besar, keduanya dapat diharapkan bertindak dan memelihara sistem” (Waltz 1979 :
204). Hal itu disebabkan dalam memelihara sistem tersebut mereka memelihara
dirinya sendiri. Menurut pandangan ini, Perang Dingin merupakan periode
stabilitas dan perdamaian internasional.
Hipotesis-hipotesis ini mungkin secara historis
problematis sepanjang AS dan Uni Soviet mengambil tindakan bersama(Yakni
kerjasama) di awal 1990-an untuk menghentikan persaingan militer internasional
dan karenanya mengkihiri sistem bipolar dan Perang Dingin. Dalam hal perubahan
bersejarah itu, Uni Soviet gagal bertahan dan sejumlah negara pengganti yg
lebih kecil ikut bermunculan dalam wilayahnya, yang paling penting adalah
Rusia. Mengingat berakhirnya Perang Dingin, teori Neorealisme ini perlu
direvisi untuk menggabungkan kemungkinan sejarah dimana dua negara berkekuatan
besar mungkin dalam keadaan-keadaan tertentu menghentikan sistem bipolar dari
pada melanggengkannya tanpa terlibat dalam perang, dimana salah satu dari
mereka dikalahkan. Masalah ini masih menjadi perdebatan diantara penstudi HI,
apakah AS mengalahkan Uni Soviet dalam Perang Dingin ataukah Uni Soviet dibawah
presiden Gorbachev, mengakhirinya dengan mundur dalam medan pertempuran. Kaum
Neorealis cenderung memilih pandangan pertama.
Tabel Teori
Neorealis Waltz ; Struktur dan hasil
Struktur
Internasional
(Unit dan Hubungan Negara)
|
Hasil-hasil
internasional
(Efek Persaingan Negara)
|
Anarki Internasional
|
Perimbangan kekuatan
|
Negara sebagai unit-unit
serupa
|
Pengulangan internasional
|
Kapabilitas negara yg berbeda
|
Konflik internasional, perang
|
Hubungan negara-negara
berkekuatan besar
|
Perubahan internasional
|
Dalam
mengembangkan teorinya, Waltz menggunakan teori realisme klasik dan
neoklasik sebagai asumsi dan pemikiran
intinya. Sebagai contoh, ia menggunakan konsep anarki internasional dan
memfokuskan secara khusus pada negara-negara. Ia menganggap bahwa perhatian
dasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap
bahwa masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan bahwa
tugas utama hubungan internasional adalah perdamaian dan keamanan.
Neorealisme
berbeda dengan realisme klasik dan neoklasik dalam beberapa hal mendasar yang
membuat pendekatannya berbeda, seperti dalam pandangan Morgenthau, sangat fokus
pada bahasan mengenai sifat manusia. Sedangkan pada neorealisme berfokus pada
struktus sistem dan bukan pada manusia yang menciptakan sistem atau
mengoperasikan sistem. Para pemimpin negara adalah tawanan dari struktur sistem
negara dan logika determinisnya yg memberi petunjuk tentang apa yang harus
mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Tidak ada tempat
dalam teori Waltz bagi pembuatan kebijakan luar negeri yang bebas dari struktur
sistem. Dengan demikian contoh kaum neorealis akan memandang kebijakan
Gorbachev (Uni Soviet) yg mundur dari Perang Dingin karena dipaksa oleh
‘kekalahan’ Uni Soviet di tangan Amerika Serikat. Dalam pandangan ini,
Gorbachev tidak mengawali kebijakan karena alasan domestik atau karena alasan
idelogis. Gambaran Waltz atas peran para pemimpin negara dalam menjalankan
kebijakan luar negeri hampir menyerupai gambaran mekanis yg pilihan-pilihan
mereka dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yg mereka hadapi,
seperti yg ditekankan Waltz sbb ;
“Kepentingan
para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan ;
kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur, kalkulasi yg
berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan2 yg akan
menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara. Keberhasilan adalah
ujian terakhir kebijakan itu, dan keberhasilan dapat didefinisikan sebagai
upaya memelihara dan memperkuat Negara..... Hambatan-hambatan struktural
menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping
perbedaan-perbedaan dalam manusia dan negara-negara yg menggunakannya.” (Waltz
1979 : 117)
Neorealime
Waltz membuat kurang lebih aturan-aturan bagi ketatanegaraan dan diplomasi dari
pada realisme yang ditawarkan terdahulu. Argumen Waltz pada dasarnya merupakan
teori determinan dimana struktur menentukan kebijakan. Hal ini mengarahkan
pemikiran realis klasik tentang pentingnya struktur internasional dalam
kebijakan luar negeri pada suaru titik diluar realisme klasik ataupun
neoklasik, yang selalu membuat ketentuan bagi politik dan etika ketatanegaraan
(Morgenthau, 1985).
Waltz
(1979) juga memperhatikan mengenai konsep kepentingan nasional : “masing-masing
negara menetapkan cara yang dipikirnya terbaik menjalankan kepentingannya”.
Bagi kaum realis klasik, kepentingan nasional merupakan petunjuk dasar
kebijakan luar negeri, yang bertanggungjawab (sama halnya pemikiran moral yg
harus dipertahankan dan dimajukan oleh para pemimpin negara). Dengan demikian,
kepentingan nasional terlihat bergerak seperti sinyal otomatis yg memerintahkan
para pemimpin negara kapan dan kemana harus bergerak. Disini terdapat perbedaan
mengenai kepentingan nasional dari Morgenthau dan Waltz. Menurut Morgenthau,
bahwa setiap pemimpin negara wajib melaksanakan kebiajakan luar negerinya
berdasarkan kepentingan nasionalnya, dan mereka wajib dipersalahkan apabila
terjadi kegagalan dalam merebut kepentingan nasionalnya. Menurut Waltz,
menghipotesiskan bahwa mereka (pemimpin negara) pada dasarnya secara otomatis
akan melakukan hal tersebut, meskipu tidak mengacu pada petunjuk yang
diwajibkan dalam kepentingan nasional.
Waltz
berpendapat bahwa negara-negara berkekuatan besar adalah mereka yg mengatur
sistem internasional. Kaum realis klasik dan neoklasik berpendapat mereka harus
mengatur sistem tersebut, dan mereka akan mendapat kritik apabila mereka gagal
memelihara ketertiban internasional. Anggapan-anggapan bahwa negara berkekuatan
besar menjadi Penanggungjwab utama dalam pemikiran kaum realis tradisional yang
didukung juga dengan pemikiran dsar Masyarakat Internasional. Negara-negara
berkekuatan besar dipahami oleh Waltz, memiliki kepentingan besar dalam sistem
mereka dan bagi manajemennya dari sistem tersebut bukan hanya sesuatu yg
menjanjikan tetapi juga sesuatu yang ‘bermanfaat’. Sangat jelas Waltz menilai
ketertiban internasional dan yakin bahwa ketertiban internasional lebih mungkin
dicapai dalam bentuk sistem bipolar daripada sistem multipolar. Perbedaan
antara neorealisme dan realisme klasik dan neoklasik dalam hal ini Waltz
menganggapnya sebagai sesuatu yg memang sudah semestinya terjadi, sedangkan
Morgenthau dan realis klasik menganggapnya sebagai norma penting dalam menilai
kebijakan luar negeri negara-negara berkekuatan besar.
Dalam mewujudkan ketertiban
internasional lebih mudah dicapai melalui sistem bipolar (Waltz), ada tiga
alasan mendasarinya yakni ;
1. Jumlah konflik negara-negara berkekuatan besar lebih
sedikit, dan hal itu mengurangi kemungkinan perang negara-negara berkekuatan
besar ;
2. Lebih mudah menjalankan sisrem penangkalan yang efektif,
sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat ;
3. Hanya ada dua kekuatan yang mendominasi sistem tersebut,
dimana kesempatan untuk terjadinya salah perhitungan dan salah tindakan akan
sangat rendah. Karena sedikit yang campur tangan yang akan menjadi pemicu.
Singkatnya, dua super power yang bersaing terus-menerus.
Sumber-sumber :
Robert Jackson
& George Sorensen. Pengantar Studi
Hubungan Internasional. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009).
Martin Grifftith. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan
Internasional. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001).