Laman

Sabtu, 05 Februari 2011

POLITICAL APPROACH AND DEVELOPMENTAL APPROACH


a)      Introduction

Pluralitas masyarakat dalam sebuah negara, dimana setiap warga negara memiliki kepentingan dan tujuan hidup yang berbeda-beda. Untuk mencapai kepentingan tersebut, dibutuhkan sebuah sistem yang mengutamakan hak-hak dan nilai-nilai yang mendukung terwujudnya kepentingan dan kebutuhan hidup setiap warga negara, dan sistem yang dianggap paling cocok adalah sistem demokrasi. 

 
Peneliti demokrasi Robert Dahl, menyebutkan dua dimensi dasar demokrasi yang saling berkaitan. Pertama, harus tersedianya ruang persaingan terbuka untuk mendapatkan semua kedudukan dan kekuasaaan politik. Kedua, pada saat yang bersamaan harus tersedianya juga ruang aktifitas yang cukup dengan jaminan yang memadai bagi partisipasi politik warga negara. Intinya, demokrasi adalah pemilihan yang bersifat umum, bebas dan setara.[1]
Demokrasi merupakan sebuah sistem dimana didalamnya terdapat nilai-nilai equality, juga terdapat persamaan bagi seluruh masyarakat dalam satu negara untuk memilih pemimpinnya, tidak mempedulikan jenis kelamin dan ras. Dalam demokrasi terdapat juga prinsip kebebasan, dimana setiap warga negara memiliki kebebasan mengemukakan pendapat, berasosiasi dan melakukan kegiatan sosial serta politiknya seperti kegiatan beragama dan berpartisipasi dalam PEMILU.
 Sistem demokrasi banyak dianut oleh negara-negara maju, dimana sistem ekonominya sudah  berkembang pesat dan banyak di tiru oleh negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, demokratisasi telah menjadi agenda global yang berusaha melakukan pendekatan kepada negara-negara yang belum melaksanakan demokratisasi, agar terwujud sebuah pemerintahan demokratis. Sehingga muncullah agen-agen demokrasi eksternal yang bertujuan membantu terwujudnya demokratisasi di negara-negara yang belum melaksanakan demokratisasi, ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Dalam pendekatan ini, terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh agen-agen demokrasi ini yaitu pendekatan politik dan pendekatan pembangunan.
Dalam paper ini akan membahas tentang pendekatan politik (political approach) dan pendekatan pembangunan (developmental approach), serta bertujuan untuk menjawab pertanyaan : Apakah perbedaan pendekatan politik (political approach) dan pendekatan pembangunan (developmental approach) yang digunakan oleh agen demokrasi eksternal? Pendekatan manakah yang lebih efektif   dalam membantu mewujudkan demokratisasi suatu negara?


a)      Political Approach dan Developmental Approach
§ Political Approach
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang pendekatan mana yang lebih tepat diterapkan bagi negara-negara berkembang yang belum melaksanakan demokratisasi dengan  benar, terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan political approach (pendekatan politik) dan developmental approach (pendekatan pembangunan) itu sendiri.
Menurut Thomas Carothers, mengemukakan pendapat tentang  political approach (pendekatan polittik) :
           “the poltical approach proceeds from a relatively narrow conception of democracy. Focused above all, on elections and political liberties and a view of democratization as a process of political struggle work to gain the upper hand in society over nondemocrats. It directs aid at core political processes and institutions, especially elections, political parties and politically oriented civil society groups often at important conjunctural moments and with the hope of catalyc effects”.[2]

Dari pendapat Thomas Carothers ini, ditemukan bahwa pendekatan secara politik yang dilakukan oleh sebuah agen demokrasi untuk mewujudkan demokratisasi di sebuah negara, adalah dengan cara langsung mendekati aktor-aktor yang terlibat dalam semua kegiatan politik, seperti partai politik, LSM, tokoh-tokoh politik dan agama yang berpengaruh dalam sebuah negara, dan masih banyak lagi. Selain itu, dalam pendekatan politik ini juga terdapat nilai-nilai demokrasi atau value of democracy, dimana hak berpartai dan hak memilih dijamin oleh negara. Dalam artian semua warga negara memiliki kebebasan dalam melakukan kegiatan politik serta dalam berpartisipasi dalam pemilihan umum tanpa adanya larangan dari negara. Selain itu, dalam pendekatan politik ini selalu percaya bahwa kemajuan demokrasi dalam suatu negara akan memberikan kontribusi kepada pembangunan sosial dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa jika keadaan demokrasi suatu negara telah baik, maka secara tidak langsung juga telah membantu memajukan keadaan sosial dan ekonomi suatu bangsa.
Menurut pandangan pendekatan politik, mengemukakan konsep demokrasi dan demokratisasi. Konsep demokrasi menurut Dahlian sangat menekankan pada pentingnya sebuah kejujuran dalam melaksanakan sebuah pemerintahan. Selain itu persaingan/kompetisi yang sehat sangatlah menentukan lahirnya sebuah sistem demokrasi yang  sehat pula. Hak bagi semua warga negara untuk memilih, tidak memandang jenis kelamin, ras dan agama. Penyelenggara demokrasi berdasarkan pendekatan politik ini menekankan pada inti ‘elections plus rights’, yang dtuangkan dalam sebuah institusi seperti pengadilan independen, legislatif dan media independen. Semua institusi ini bekerja sesuai dengan pengalaman yang terjadi dalam negaranya, dalam mendirikan sebuah pemerintahan demokratis. Oleh Karena itu, konsep demokrasi menurut pendekatan politik ini sangat mengutamakan hak-hak memilih dan tidak menyepelekan peran institusi dalam melakukan pembangunan demokrasi yang berkualitas.[3]
Menurut  pandangan political approach, konsep demokratisasi adalah :
“the political approach sees democratization as a process of political struggle in which political actors who can be clearly identified as democrats contend with nondemocratic forces. Democratization advances when the democrats gain the upper hand and recedes when they lose out. Although democratization may extend a long period of time, it is a process of struggle often marked by key junctures, breakthroughs, reversals, crises and resolutions”.[4]

Menurut pandangan ini, memberikan pemahaman bagi kita bahwa sebuah demokratisasi merupakan sebuah proses yang tidak secara langsung dapat diraih oleh agen-agen demokrasi yang menginginkan satu negara agar menerapkan demokratisasi, namun memerlukan proses perjuangan yang dilakukan oleh mereka yang tergabung dalam kelompok demokrat yang berusaha  untuk menarik perhatian mereka yang non-demokrat untuk ikut bergabung dalam demokrat. Hal ini dilakukan agar demokratisasi dapat lebih mudah terwujud dan ini merupakan proses perjuangan yang tidak terlepas dari beberapa peristiwa penting, krisis, dan resolusi mengingat demokratisasi bukanlah hal yang mudah untuk diraih.
Adapun cara untuk mendukung lahirnya demokrasi menurut pendekatan politik  ini yaitu dengan membantu para anggota demokrat  (mereka yang menganut paham demokrasi) untuk mewujudkan demokratisasi dengan terlebih dahulu menghadapi para non-demokrat (mereka yang belum menganut paham demokrasi) yaitu dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, yang didalamnya terdapat pengenalan terhadap sistem demokrasi. Memberikan dukungan moral dan dana kepada partai politik, aktor-aktor politik, serta asosiasi-asosiasi. Namun bantuan dana dan dukungan moral ini tidak diberikan secara langsung kepada partai politik serta aktornya, melainkan melalui komisi PEMILU, badan-badan independen seperti badan pengawas PEMILU dan media independen. Hal ini dilakukan agar badan-badan independen ini dapat memainkan peranan tertentu dalam mewujudkan demokratisasi. Oleh karena itu, pendekatan politik ini memiliki jangka waktu yang relatif cepat untuk mewujudkan demokratisasi dalam sebuah negara, karena langsung mendekati hal-hal yang paling berpengaruh dalam perwujudan demokratisasi seperti partai dan aktor-aktor politik. Berbeda halnya dengan pendekatan pembangunan, yang akan lebih jelas dibahas dalam point berikut ini.

§ Developmental Approach
Sama halnya dengan political approach, pendekatan pembangunan (developmental approach) memiliki perspektif mengenai konsep demokrasi dan demokratisasi, serta cara untuk mendukung lahirnya sebuah pemerintahan yang demokratis. Namun terdapat perbedaan antara perspektif pendekatan politik dengan pendekatan pembangunan dalam subtansinya dan memiliki kekurangan serta kelebihan masing-masing.
Pendekatan pembangunan merupakan pendekatan yang menekankan pada proses  demokrasi yang lebih luas. Jika pada pendekatan politik lebih menekankan pada proses demokrasi yang sempit yaitu hanya pada aspek politik seperti kebebasan untuk memilih dan hak berpartai. Pada pendekatan pembangunan lebih fokus terhadap persamaan dan keadilan. Dimana segala tindakan atau bantuan yang dilaksanakan dalam pendekatan pembangunan lebih kepada pemerintahan dan negara, langkah dalam mewujudkan demokrasi ditempuh dengan melibatkan rangkaian yang saling tergantung antara pembangunan politik, sosial dan ekonomi. Sehingga perubahan menuju demokratisasi bertahap dan akan menghabiskan waktu lebih lama, dibanding pada pendekatan politik.
Dalam pendekatan pembangunan ini terdapat nilai-nilai yang tidak terdapat dalam pendekatan politik. Dimana developmental approach beranggapan bahwa, jika suatu negara ingin maju dalam bidang politik, maka harus terlebih dahulu memajukan pembangunan sosial, ekonominya. Yaitu dengan mewujudkan pemerintahan demokratis yang dalam menjalankan tugasnya selalu berasaskan pada nilai-nilai seperti ; transparency, accountability dan responsiveness.[5]
Konsep demokrasi menurut pendekatan pembangunan adalah :
“The developmental approach looks beyond an exclusive political definition of democracy to boarder conceptions that incorporate socioeconomic concerns. In other words, it looks past political procedures to substantives outcomes such as equality, welfare and juctice. In contrast to the view of most adherents of the political approach, supporters of the developmental approach tend to see economic and social rights as being no less important than political and civil rights”.[6]

Konsep demokrasi menurut pendekatan pembangunan ini, lebih luas mencakup pendekatan seluruh aspek sosial dan ekonomi, dimana didalamnya terdapat hak-hak ekonomi dan juga hak-hak sosial yang tidak kalah pentinganya dengan hak-hak politik dan sipil seperti yang disebutkan dalam konsep demokrasi menurut pendekatan politik.
Konsep demokratisasi menurut pendekatan pembangunan dipandang sebagai sebuah proses yang sangat lama dan berulang-ulang, diukur dalam dekade dan ditandai dengan tahapan yang dicapai dengan keuntungan sangat kecil. Seperti dalam bidang pendidikan, pengangguran, kesehatan dan lain-lain. Menurut konsep demokratisasi menyebutkan : “they worry about whether some countries are ready for democracy, and they hold that it is better to achieve a certain basic level of social and economic development, including an effective state and the rule of law, before proceeding with democratization”.[7]
Cara yang digunakan dalam pendekatan pembangunan ini tidak secara langsung seperti yang digunakan dalam pendekatan politik. Melainkan melalui agen-agen eksternal yang memiliki agenda utama untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial warga dalam satu negara tertentu. Penyedia bantuan untuk mewujudkan demokrasi ini memiliki dua pengertian ;  Pertama, pendekatan pembangunan ini percaya bahwa hubungan antara dua wilayah, dimana nilai untuk mendukung pembangunan sosial dan ekonomi merupakan salah satu cara untuk mendukung terwujudnya demokrasi. Kedua, pendekatan ini menekankan pada kapasitas negara melalui pelatihan bagi para teknokrat dan poilitisi, agar terwujud  good governance yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Terdapat beberapa agen yang berusaha mewujudkan demokratisasi dengan memberikan bantuan-bantuan. Agen-agen tersebut seperti World Bank, yang melakukan program bantuan terhadap usaha kecil menengah. WHO (World Healty Organization) yang mencanangkan program-program untuk menuntaskan masalah-masalah kesehatan dalam suatu negara yang tentunya masih tertinggal dalam masalah ini. Selain itu juga ada USAID (United States Aid) yang beroperasi di negara-negara bagian Afrika, Asia, Eropa dan Eurasia, Amerika Latin dan Karabia, serta Timur-Tengah. Mereka memiliki program kerja yang menfokuskan pada bidang pertanian, pemerintahan demokrasi, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, pendidikan, lingkungan, kesehatan, bantuan kemanusiaan dan masih banyak lagi. Selain dari bantuan dari negara-negara maju, terdapat pula bantuan dari organisasi internasional seperti PBB melalui UNDP (United Nations Development Program) dengan beberapa programnya seperti, democratic governance, proverty reduction, crisis prevention and recovery, environment and energy, HIV/AIDS. Selain beberapa agen yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi agen-agen eksternal yang turut membantu terwujudnya demokratisasi di negara-negara berkembang.

b)      Penerapan Political and Developmental Approach di Myanmar
Myanmar merupakan salah satu negara berkembang di Asia tenggara yang belum melaksanakan demokratisasi dengan baik dan masih terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Myanmar telah dikuasai oleh militer selama kurang lebih 45 tahun, selama periode tersebut Myanmar tidak luput dari perhatian dunia internasional, terutama karena pemerintahan junta militer yang cenderung otoriter dan tidak melindungi hak-hak asasi warga negaranya.
Sejak kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948, rakyat Myanmar pernah merasakan kehidupan berdemokrasi selama 14 tahun dibawah pemerintahan Perdana Mentri U Nu yang melaksanakan sistem pemerintahan demokrasi liberal. Namun kehidupan demokrasi ini berakhir pada tahun 1962 ketika terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan oleh pihak militer. Sejak saat itu pola otoriter ini diterapkan oleh pihak militer yang ingin segala aspek kehidupan rakyat Myanmar diatur secara terpusat agar terhindar dari pengaruh lawan, baik internal maupun eksternal.[8]
Myanmar juga pernah diadakan PEMILU pada tahun 1990 melalui SLORC (State Law and Restoration Council), hal ini dilakukan karena pemerintah militer percaya bahwa represi politik dan propagandanya bertahun-tahun dapat menekan gerakan demokrasi serta mereka sangat yakin partai milik pemerintah militer akan menang dalam PEMILU tersebut. Sebelum PEMILU mulai, pemerintah melakukan represi ketat terhadap aktivitas partai politik. Para peserta pemilu diberikan kampanye terbatas yang dikontrol ketat oleh pemerintah. Kampanye ini sangat terbatas, 10 menit kampanye di televisi, 15 menit di radio, tapi dalam kampanye tersebut tidak boleh melakukan kritikan terhadap Jenderal Ne Win, tentara SLORC dan ekonomi. Setelah PEMILU diadakan pada 27 Mei 1990, hasil yang diperoleh mencengangkan, dimana dimenangkan oleh NLD (National League for Democracy) partai pimpinan Aung San Suu Kyi, yang berjuang keras mewujudkan demokrasi di Myanmar. NLD mendapatkan 392 kursi dari 485 yang diperebutkan. 67 kursi jatuh ke United National League for Democracy (UNLD) partai politik pro-demokrasi yang mewakili etnis dalam pemilu, 16 kursi lain juga diperoleh partai pro-demokrasi lainnya, sementara hanya 10 kursi yang jatuh ke National Unity Party (NUP) partai milik pemerintah militer.[9]
Setelah mengalami kekalahan dalam pemilihan umum 27 Mei 1990, Junta militer menolak untuk memindahkan kekuasaan kepada partai pemenang yaitu NLD, namun junta militer mengubah aturan main dan menyatakan bahwa peran dari perwakilan yang telah terpilih hanya penyusunan draft konstitusi yang baru, bukan untuk mendirikan pemerintahan yang baru. Selain itu pemerintahan militer juga menangkap ketua partai NLD Aung San Suu Kyi dan dikenakan sebagai tahanan rumah. Segala aspek kehidupan rakyat Myanmar diatur oleh pemerintah, seperti peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah militer pada tahun 1996 bahwa kepemilikan televisi dan internet harus mendapatkan izin dari pemerintah. Junta juga melakukan sensor terhadap video lokal maupun impor.
Jika dilihat berdasarkan teori Robert Dahl, dengan konsep demokrasi elektoralnya, maka Myanmar bisa termasuk negara yang telah melaksanakan demokrasi, karena Myanmar pernah melaksanakan PEMILU pada tahun 1990. Namun demokrasi ini sangatlah tidak sempurna, melihat masih banyaknya aturan yang dilakukan oleh pemerintah militer seperti dengan melakukan pembatasan pada aktivitas politik bagi partai politik dalam melakukan kampanye. Selain itu juga, hasil pemilu yang dimenangkan oleh partai pro-demokrasi NLD ditolak oleh pemerintah militer bahkan mengambil tindakan dengan menahan ketua partai tersebut.
Munculnya gerakan-gerakan demokrasi dalam pemarintahan militer Myanmar, disebabkan karena penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Myanmar akibat dari rezim otoriter yang mengatur dan membatasi segala aktivitas rakyatnya. Keseluruhan gerakan demokrasi, baik itu melalui partai-partai maupun organisasi yang mendukung demokratisasi di Myanmar tentunya harus mendapat dukungan dari internal maupun eksternal. Dukungan internal tentunya datang dari rakyat Myanmar yang menginginkan kekuasaan pemerintahan junta militer berakhir, agar tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang banyak menyengsarakan rakyat Myanmar. Sedangkan dukungan eksternal datang dari dunia internasional yang mengecam pelanggaran hak asasi manusia dan mendukung terwujudnya demokratisasi di Myanmar.
Dalam mewujudkan demokratisasi di Myanmar ini, sebenarnya telah digunakan dua pendekatan sekaligus. Yaitu pendekatan politik dan pendekatan pembangunan, namun apakah kedua pendekatan tersebut berhasil mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan menggantikan pemerintahan otoriter Myanmar. Pendekatan politik yang dilakukan dengan beberapa cara represif, seperti dengan pemberian sanksi-sanksi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Uni Eropa melalui common position memberikan sanksi seperti, embargo senjata, penundaan bantuan non-kemanusiaan bilateral dan multilateral, penghentian hak istimewa perdagangan, sanksi visa diberikan bagi pejabat militer, pembekuan asset bagi pejabat militer dan masih banyak lagi. Sedangkan Amerika Serikat melalui US Burmese Act 2003 mulai melarang semua impor yang diproduksi di Myanmar, Amerika Serikat melarang semua transaksi keuangan dan pengiriman uang dengan meggunakan Dolar AS, serta melarang semua investasi baru di Myanmar yang dilakukan oleh warga negara maupun perusahaan Amerika Serikat dan masih banyak lagi sanksi-sanksi lainnya.[10]
Pelaksanaan pendekatan politik ini melalui penerapan sanksi-sanksi terhadap Myanmar ternyata belum efektif untuk mewujudkan demokratisasi di Myanmar. Hal ini dikarenakan masih berkuasanya kekuatan militer di Myanmar sampai sekarang. Sehingga para pendukung demokrasi merubah pendekatannya dengan menggunakan pendekatan pembangunan.
Pendekatan pembangunan ini datang dari salah satu organisasi internasional yang sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan menghormati asas-asas demokrasi, yaitu Uni Eropa. Seperti dengan meningkatkan dan memberikan bantuan dana dalam bidang kemanusiaan, bahkan Uni Eropa telah memberikan 30juta Euro bantuan. Misalnya dana 3D dalam menyediakan obat antivirus dan bagi seratus ribu pasien di Myanmar, karena setidaknya ada empat puluh ribu penduduk Myanmar memerlukan obat-obatan. Selain itu, Uni Eropa juga membantu menanggulangi meningkatnya tekanan ekonomi dan sosial yaitu dengan cara mengurangi tingkat kemiskinan, populasi pengungsi, bahkan para pekerja imigran harus dibatasi jumlahnya. Dewan keamanan menyebutkan hampir 3-5 juta imigran Myanmar bekerja di Thailand, serta bersama ratusan ribu pekerja di India, Bangladesh, Srilangka, Indonesia dan lain-lain. Kini diperkirakan setidaknya ada 10% jumlah penduduknya berasal dari Myanmar. Jika ingin memperbaiki demokrasi di Myanmar, maka perlu terlebih dahulu mengatasi masalah serius ini, yaitu dengan membatasi kekuatan militer dan menjangkau lebih banyak dukungan dari manapun itu.[11]
Bagi Uni Eropa juga, sangatlah penting untuk segera memperluas bantuan dalam bidang hak asasi manusia dan demokrasi terhadap masyarakat Myanmar. Seperti saat kampanye oleh gerakan demokrasi Myanmar untuk menggugat referendum pada bulan Mei 2008 dan rencana diadakannya pemilu 2010, haruslah didukung dengan adanya tranformasi konflik, pendidikan demokrasi, mendukung adanya media independen, pengembangan partai-partai maupun organisasi politik, kampanye pemilu, tata pemerintahan yang baik,gencatan senjata dan rehabilitasi para pejuang, masyarakat sipil dan berbagai program pemberdayaan lainnya. Dengan cara-cara inilah, akan ditemukan cara dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di Myanmar.
Selain itu, Uni Eropa juga menunjuk perwakilannya Piero Fassino sebagai utusan dari Uni Eropa untuk Burma yang mendukung upaya PBB Ibrahim Gambari untuk menyelesaikan masalah di Myanmar. Hal ini dilakukan dalam rangka melanjutkan upaya-upaya consensus international di Myanmar. Uni Eropa juga memiliki sebuah proyek dalam membantu etnik minoritas yang tinggal diperbatasan Myanmar. Ini dibuktikan dalam salah satu statement yang dikeluarkan perwakilan Uni Eropa di Bangkok. Menurut kepala Komisi Uni Eropa untuk Thailand dan Myanmar, Duta Besar Klauspeter Schmallenbach, menyatakan bahwa proyek Uni Eropa di Myanmar dimotivasi dari rasa keprihatinan kemanusiaan. Dari keseluruhan total bantuan Uni Eropa seniali 9,2 juta Euro, terdapat 1,2 juta Euro diperuntukkan bagi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), khususnya bagi rencana pendidikan pengungsi etnik Karen dan lainnya senilai 510.000 Euro akan diberikan dalam bidang kesehatan, sama halnya yang diluncurkan oleh organisasi internasional lainnya untuk membantu memindahkan 20.000 penduduk etnik Shan.[12]
Melalui pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh agen-agen demokrasi dengan memberikan beberapa bantuan kemanusiaan diatas, mungkin dapat sangat membantu rakyat Myanmar dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Ini juga lebih tepat diterapkan di Myanmar, mengingat bahwa rakyat Myanmar dikuasai oleh pemerintah otoriter yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya. Sehingga jika ada bantuan yang masuk dengan mengatasnamakan kemiskinan, kesehatan dan lainnya akan lebih mudah masuk ke Myanmar dibandingkan dengan sanksi-sanksi yang diterapkan dalam pendekatan politik.

c)      Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
·         Pendekatan politik dan pendekatan pembangunan memiliki tujuan yang sama, yaitu mewujudkan demokratisasi di negara-negara berkembang.
·         Pendekatan politik lebih fokus terhadap hal-hal yang bersifat politis, dimana dalam mewujudkan demokratisasi dengan cara langsung mendekati para aktor-aktor politik, partai politik, LSM dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan pendekatan politik prosesnya lebih cepat dalam mewujudkan demokrasi, karena langsung menyentuh wilayah sensitive seperti tokoh-tokoh penting dan media massa.
·         Pendekatan pembangunan lebih menekankan pada aspek sosial dan ekonomi, dengan memberikan bantuan yang bersifat kemanusiaan, seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, pengangguran dan sebagainya. Hal ini menyebabkan pendekatan pembangunan berjalan lebih lama dibandingkan pendekatan politik, karena memberikan bantuan pada golongan miskin saja.
·         Dalam kasus Myanmar lebih tepat menggunakan pendekatan pembangunan, karena pendekatan politik dianggap gagal dalam mewujudkan demokratisasi di Myanmar. Terbukti dengan banyaknya sanksi-sanksi yang dikeluarkan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, seperti sanksi visa, pemebekuan asset bagi para pejabat militer, penghentian hak istimewa perdagangan dan masih banyak lagi sanksi lainnya, tidak serta merta menjadikan pemerintahan militer melakukan reformasi pemerintahannya dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis.
·         Maka dari itu, pendekatan pembangunan digunakan, yaitu dengan memberikan dana bantuan dalam bidang kesehatan. Seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui dana 3D yang ditujukan untuk menyediakan obat-obatan bagi masyarakat Myanmar, menanggulangi meningkatnya tekanan ekonomi dan sosial dengan mengurangi tingkat kemiskinan, populasi pengungsi dan membatasi jumlah imigran. Selain itu juga Uni Eropa memberikan dana bantuan bagi para pengungsi melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Meskipun jangka waktu yang dibutuhkan oleh pendekatan pembangunan ini lebih lama dibandingkan pada pendekatan politik, namun hal ini diyakini dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah di Myanmar. Jika ingin memperbaiki kondisi demokrasi di Myanmar, maka terlebih dahulu harus dapat menyelesaikan masalah-masalah serius ini.


DAFTAR BACAAN

Jurnal :
Alexandra Retno Wulan, Isu Myanmar, Semenanjung Korea dan Konflik Darfur, dalam Analisis CSIS, tahun 2007 Vol 36, No.4. Desember 2007
Thomas Carothers, Democracy Assistance: Political VS Developmental?, dalam Jurnal of Democracy Volume 20, NO 1 januari 2009

Wolfgang Merkel, Demokrasi Di Asia : Sebuah Benua Antara Diktator dan Demokrasi, dalam Jurnal Demokrasi Di Asia.
International Crisis Group Report 26 April 2004 “Myanmar Sanctions, Engagement or Another Way Forward” Brussel : IGG, 2004

Website :
“Promoting Change In Burma/Myanmar, The Impact of EU Policies”, dalam www.europarl.europa/eu/document/activities/cont/20080403ATT25673/20080403ATT25673EN.pdf, diakses 9 Agustus 2009

EU Grants Million for Burma Groups, dalam www.irrawaddy.org/article.php?art_id=317,  diakses 10 Agustus 2009




[1] Wolfgang Merkel, Demokrasi Di Asia : Sebuah Benua Antara Diktator dan Demokrasi, dalam Jurnal Demokrasi Di Asia.
[2] Thomas Carothers, Democracy Assistance: Political VS Developmental?, dalam Jurnal of Democracy Volume 20, NO 1 januari 2009, hlm 5
[3] Thomas Carothers, Op.Cit. hlm. 7
[4] Ibid.
[5] Ibid. hlm 8
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm 8-9
[8] Alexandra Retno Wulan, Isu Myanmar, Semenanjung Korea dan Konflik Darfur, dalam Analisis CSIS, tahun 2007 Vol 36, No 4 (Desember 2007), hlm 367-368.
[9] International Crisis Group Report 26 April 2004 “Myanmar Sanctions, Engagement or Another Way Forward” (Brussel:IGG, 2004), hlm 45.
[10] International Crisis Group.,Op.Cit, hlm 25
[11] “Promoting Change In Burma/Myanmar, The Impact of EU Policies”, dalam www.europarl.europa/eu/document/activities/cont/20080403ATT25673/20080403ATT25673EN.pdf, diakses 9 Agustus 2009
[12] EU Grants Million for Burma Groups, dalam www.irrawaddy.org/article.php?art_id=317, diakses 10 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar