Laman

Sabtu, 05 Februari 2011

SOCIAL MOVEMENT DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DI MYANMAR


Pengantar
Keberagaman masyarakat yang hidup dalam sebuah negara tentunya memiliki kepentingan dan karakteristik yang berbeda-beda antara satu sama lain. Dalam mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, tentunya harus dijalankan sebuah pemerintahan yang dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan rakyatnya. Hal ini dilakukan dengan memberikan kebebasan bagi rakyat dalam mengemukakan pendapat, menjalankan hak-hak sosial dan politiknya, kebebasan dalam mendapatkan informasi baik dari dalam maupun dari luar, kesetaraan bagi seluruh warga masyarakat serta memberikan keleluasaan bagi rakyat untuk memilih dan menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin mereka kelak. Semua ini akan terwujud, apabila sebuah negara telah berhasil melaksanakan sebuah sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyatnya dan sistem ini dinamakan demokrasi.

 
Bagi masyarakat di negara manapun itu, baik itu negara maju maupun negara yang masih berkembang pasti menginginkan pemerintahan demokratis. Hal ini dikarenakan dalam pemerintahan demokratis terdapat nilai-nilai yang sangat mengutamakan kesetaraan (equality), dan dalam pelaksanaannya selalu mendengarkan keinginan rakyatnya, karena demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, sebuah pemerintahan dapat dikatakan demokratis, jika kekuasaan negara berada ditangan rakyat dan segala tindakan ditentukan oleh kehendak rakyat.[1]
Sama halnya Myanmar yang menginginkan pemerintahan demokratis, namun pemerintahan otoriter masih menguasai dunia pemerintahan Myanmar, dalam hal ini Junta Militer. Pemerintahan militer telah menguasai Myanmar sejak tahun 1962 dan sejak saat itupula sering terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Dimana rakyat Myanmar mengalami tindakan-tindakan represi dari pemerintah militer, dengan membatasi ruang gerak mereka dalam bereskpresi, mengemukakan pendapat, tidak diberikan kebebasan untuk memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin mereka dan masih banyak lagi pelanggaran lainnya. Hal ini menimbulkan timbulnya gerakan sosial yang menentang pemerintahan junta militer.
Dalam paper ini akan membahas gerakan sosial (Social Movement) yang muncul di Myanmar, serta bertujuan untuk menjawab pertanyaan : Apakah dengan adanya social movement akan membantu mewujudkan demokratisasi di Myanmar? Adakah kepedulian dunia internasional yang mendukung terwujudnya demokratisasi di Myanmar?
Perkembangan Demokrasi Di Myanmar
Dilihat dari perkembangan demokrasi, abad pertengahan menghasilkan satu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam besar tahun 1215). Magna Charta merupakan kontrak antara beberapa bangsawan dan raja John dari Inggris yang untuk pertama kalinya seorang raja mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan previledges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang. Piagam ini dianggap sebagai tonggak perkembangan  gagasan demokrasi.[2]
Menurut Joseph Schumpter, mengungkapkan teori demokrasi yang disebut Demokrasi Politik. Baginya demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu pemimpin politik yang saling bersaing meraih suara dalam pemilihan, keputusan ini dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya.[3]
Robert Dahl sependapat dengan pemikiran demokrasi politik yang dikemukakan Joseph Scumpeter. Dahl mengungkapkan responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga negaranya yang setara secara politis sebagai sifat dasar demokrasi. Dalam pelaksanaannya demokrasi menurut Dahl memerlukan tiga dimensi utama yaitu ; kompetisi, partispasi dan kebebasan politik dan sipil. Ketiga dimensi ini dikembangkan menjadi;
a.         Kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi diluar kontrol pemerintah;
b.         Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
c.          Hak untuk memilih tanpa hambatan, paksaan dan intimidasi;
d.         Hak untuk dipilih dalam pemilihan umum yang bebas dan adil;
e.         Hak bagi pemimpin untuk bersaing mencari dukungan dan memberikan suara;
f.           Hak atas sumber-sumber informasi alternatif;
g.         Pemilihan umum yang bebas dan adil;
h.         Proses pembuatan keputusan pemerintah harus berdasarkan kesepakatan mayoritas melalui lembaga-lembaga perwakilan.[4]
Pada prisipnya kedelapan kondisi yang dipaparkan oleh Robert Dahl membentuk defenisi tentang demokrasi politik. Bila kondisi-kondisi ini terpenuhi maka kita akan menemukan demokrasi politik, namun dalam pemerintahan di Myanmar kita belum menemukan terpenuhinya kedelapan kondisi diatas. Hal ini dibuktikan masih banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dari pemerintah Junta Militer.
Kasus pelanggaran hak asasi manusia antara lain ; Pertama, pengrusakan civil society, dimana junta militer terus menekan dan mematikan kekebasan politik rakyatnya. terbukti pada tahun 1996 pemerintahan junta militer mengeluarkan aturan bahwa kepemilikan televisi dan internet harus mendapatkan izin dari pemerintah, junta juga melakukan sensor terhadap video lokal maupun impor. Sehingga pangamat asing sangat sulit masuk ke Myanmar atau mendapatkan informasi yang akurat mengenai peristiwa yang terjadi di Myanmar. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Junta bertujuan untuk mengisolasi rakyatnya dari pengaruh luar yang dianggap sangat mengganggu kepentingan junta. Disisi lain, hal tersebut melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat.[5]
Kedua, pelanggaran yang dilakukan oleh junta militer adalah pembatalan hasil PEMILU tahun 1990, penangkapan dan menahan tokoh pro-demokrasi di Myanmar Aung San Suu Kyi, serta memenjarakan U Win Htein asisten Aung San Suu Kyi. Sampai saat ini,  disamping masih menetapkan sebagai tahanan rumah bagi Aung San Suu Kyi, junta militer masih memenjarakan sekitar 1. 100 pejuang demokrasi. Ketiga, melanjutkan penindasan terhadap etnis minorotas. Berdasarkan laporan Departemen Amerika Serikat, kekerasan terhadap etnis minoritas yang dilakukan oleh Jenderal Than Shwe semakin memburuk pada tahun 2004. Kekerasan tersebut meliputi kasus-kasus pemerkosaan oleh tentara, kerja paksa dan pengusiran terhadap etnis-etnis minoritas. Dalam laporan tersebut, dilaporkan bahwa junta militer telah melakukan eksploitasi dalam jangka waktu yang cukup lama terhadap wilayah-wilayah etnis minoritas yang telah dikuasai oleh tentara Myanmar.[6]
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi, membuat kita mengerti bahwa demokratisasi belum dapat terwujud di Myanmar. Berdasarkan konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Scumpeter bahwa demokrasi merupakan proses dan mekanisme dalam memilih pemimpin. Namun apa yang terjadi di Myanmar tidak demikian, dimana rakyatnya tidak diberikan hak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Meskipun pernah diadakan PEMILU, namun pemerintah militer membatasi gerak-gerik rakyat dan partai-partai politik lainnya.
Sedangkan berdasarkan konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Dahl, bahwa demokrasi memerlukan beberapa dimensi penting seperti ; kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik dan sipil, kemudian dikembangakan menjadi 8 dimensi penting. Namun dalam pemerintahan Myanmar kedelapan dimensi tersebut, belum terpenuhi dengan sempurna. Seperti hak bagi rakyatnya untuk memperoleh sumber-sumber informasi alternatif, baik itu dari luar maupun dari dalam negeri. Berbeda dengan apa yang terjadi di  Myanmar adalah justru pemerintah junta militer mengisolasi rakyatnya dari informasi-informasi tersebut, karena dianggap dapat mengganggu kepentingan pemerintah militer. Selain itu, pemilihan yang bebas dan adil belum dilaksanakan dengan sempurna, meskipun pernah diadakan pemilu tahun 1990 namun pemilihan umum tersebut sangat jauh dari kata adil dan bebas. Bahkan pemerintah militer dengan kekuasaan yang dimilikinya membatalkan hasil pemilihan tersebut dan menolak memindahkan kekuasaan,  yang dimenangkan oleh partai pro-demokrasi.
Melihat perkembangan demokrasi di Myanmar sangat jauh dari keberhasilan dan masih banyak ditemukan pelanggaran HAM oleh pemerintahan junta militer, mengakibatkan timbulnya aksi-aksi protes dari rakyat Myanmar yang menentang pemerintahan otoriter. Aksi-aksi ini dapat berupa demonstrasi, pendudukan, pemogokan massal yang dilakukan oleh mahasiswa, biksu-biksu dan masyarakat sipil pada umumnya. Aksi-aksi ini biasa dikenal dengan istilah gerakan sosial (social movement). Seiring dengan semakin banyaknya gerakan sosial menentang pemerintah militer, secara bersamaan pula junta militer tetap menjalankan politik tangan besinya dengan melakukan penekanan-penekanan terhadap mereka yang menentang pemerintahan militer, bahkan para tentara tidak segan-segan menembaki mereka yang sedang malakukan demonstrasi.
Sejarah Masuknya dan Intervensi Militer ke dalam Sistem Politik Di Myanmar
Sejak Myanmar merdeka pada tahun 1948 (saat itu bernama Burma), berada dibawah pemerintahan sipil U Nu, ia mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem parlementer. Sama halnya dengan negara yang baru merdeka lainnya, pemerintahan U Nu juga dihadapkan pada keadaan sosio-politik yang rumit. U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Strategi tersebut akhirnya gagal mengatasi berbagai persoalan kompleks yang muncul, baik berkenaan dengan aspek perekonomian, pembelotan, maupun pemberontakan.[7]
Militer masuk kedalam pemerintahan Myanmar pada tahun 1960, dimana pada saat itu timbul berbagai masalah dalam pemerintahan U Nu. Sehingga terjadi perpecahan di tubuh partai AFPFL (Anti Facist People’s Freedom League), dimana terjadi perselisihan antar perdana mentri U Nu dengan wakil perdana mentrinya U Kway Nyein. U Nu kemudian mendirikan partai Union Party (Partai Persatuan) dan U Kwin Nyein tetap menggunakan nama AFPFL.[8] Pada saat itu, posisi politik U Nu sangat lemah dan keadaan sosial, politik rakyat Myanmar semakin kacau. Sehingga perdana mentri U Nu menyerahkan pemerintahan peralihan pada pihak militer yang bertugas untuk mengendalikan dan mempersiapkan pemilu tahun 1960. Pemerintahan militer berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai diselenggarakan pemilu tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi Myanmar. Namun, dikarenakan pemerintah sipil tidak dapat menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar, yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi Myanmar, maka timbul ketidakpuasan di kalangan pro-militer dan militer. Akhirnya, pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta dibawah pimpinan Jenderal Ne Win.[9]
Setelah melakukan kudeta, Jenderal Ne Win kembali membubarkan partai-partai politik, parlemen dan membatalkan konstitusi yang berlaku. Ne Win kemudian membentuk partai Sosialis Burma atau The Burma Socialist Programme Party (BSPP) yang diketuai sendiri sebagai satu-satunya partai politik di Myanmar (Burma). Dibawah BSPP sekitar 15.000 perusahaan dinasionalisasi termasuk perusahaan-perusahaan asing. Pada bulan Juli 1962 terjadi protes mahasiswa terhadap pemerintahan baru, protes ini dibalas dengan tindakan tegas oleh pihak militer yang mengakibatkan ratusan mehasiswa tewas dan sekitar 3000 mahasiswa ditangkap. Peristiwa ini menandai awal dari tiga setengah dekade pemerintahan BSPP.[10]
Pada 13 Maret 1988, terjadi bentrok antara tentara dengan mahasiswa Ranggon Institute of Technology (RIT), beberapa mahasiswa tewas. Bentrokan ini marupakan manifestasi kekecewaan rakyat atas perekonomian yang semakin buruk. Beberapa hari kemudian, pada 18 Maret 1988, terjadi demonstrasi yang lebih besar dikota Ranggon, lebih dari 40 orang tewas. Ketika 8 Agustus 1988 terjadi mogok nasional di Myanmar, dikota Ranggon. Ribuan orang berkumpul dibelakang pagoda Sule ditembaki secara brutal. Pada 10 Agustus, senat Amerika Serikat mengutuk pembantaian tersebut dan memboikot pemerintah militer di Myanmar, tindakan ini diikuti tindakan serupa dan kecaman dari seluruh dunia.[11]

Social Movement dan Dukungan Dunia Internasional Di Myanmar
Keberadaan militer yang menguasai hampir segala aspek kehidupan masyarakat Myanmar, menjadikan timbul berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia dan secara langsung menghambat berkembangnya demokratisasi di negara berkembang ini. Hal ini mengakibatkan timbul gerakan sosial yang menentang pemerintahan militer di Myanmar. Gerakan sosial ini timbul karena adanya struktur sosial yang tidak adil, dalam artian penyebab timbulnya gerakan sosial ini diakibatkan karena adanya ketimpangan sosial yang tinggi antara penguasa dan masyarakat umum. Baik itu dalam ekonomi, sumber daya dan status. Sehingga menyebabkan orang-orang atau kelompok tertentu mencoba mendapatkan hal serupa. Selain itu, terjadinya pemberontakan dalam gerakan sosial ini, disebabkan karena orang atau kelompok tertentu ingin memperbaiki situasi negaranya secara konsisten, baik itu dalam bidang ekonomi maupun politik.
Menurut Charles Dobson menyebutkan bahwa ada tiga faktor penting yang mendukung timbulnya gerakan sosial ; political opportunity, organizational capacity dan framing ability.[12] Selain itu, Dobson juga menyebutkan bahwa timbulnya gerakan sosial ini akibat kelompok-kelompok yang menentang, namun mereka tidak berdaya (powerless). Ini menenkankan bahwa hadirnya gerakan sosial ini, disebabkan karena mereka merasa tidak puas dalam pemakaian sumber daya yang menyebabkan muncul dan berkembangnya pemberontakan dari orang-orang atau kelompok tertentu.[13]
Dalam konsep yang dikemukakan Dobson menyebutkan bahwa tiga faktor yang mendukung gerakan sosial. Pertama Political Opportunity, dalam artian para elit politik harus membuka kesempatan berpolitik bagi semua warga, baik itu warga sipil maupun militer. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog-dialog politik yang dapat menyelesaikan masalah dalam suatu negara. Jika hal ini tertutup bagi warga sipil, maka akan menimbulkan pemberontakan-pemberontakan dari orang atau kelompok tertentu. Kejadian ini serupa dengan yang terjadi di Myanmar, dimana timbulnya gerakan sosial oleh beberapa kelompok tertentu diakibatkan karena pemerintah militer tidak memberikan kesempatan berpolitik bagi seluruh anggota masyarakat untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang politik, sehingga militer dapat berkuasa penuh dalam pemerintahan di Myanmar. Tidak hanya itu, pemerintah Junta militer juga menolak mengadakan dialog-dialog politik yang ditawarkan oleh negara-negara lain yang bertujuan untuk menjadi mediator dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar. Hal ini dikarenakan pemerintah junta militer menganggap itu sebagai intervensi urusan dalam negeri Myanmar.
Kedua organizational capacity, dalam artian sebuah gerakan sosial harus didukung dengan adanya kemampuan untuk meng-organisir kekuatan. Baik kekuatan dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam hal ini dapat diliat dalam pergerakan sosial yang dilakukan oleh aktivis pro-demokrasi Aung San Suu Kyi, dimana sejak berkuasanya militer di Myanmar menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga Aung San Suu Kyi sebagai putra daerah, merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi negaranya yang semakin memburuk. Pada 26 Agustus 1988, Suu Kyi melakukan open speech pertamanya. Dalam pidatonya Suu Kyi dapat menarik simpati massa dan membuatnya menjadi simbol perlawanan paling depan dalam pergerakan melawan pemerintah diktator militer Myanmar.[14]Sehingga Suu Kyi dianggap sebagai satu-satunya figur yang mampu mempersatukan semua segmen masyarakat Myanmar. Ini didukung oleh dua hal ; pertama Aung San Suu Kyi adalah anak dari pemimpin Myanmar yang ikut menandatangani perjanjian panglong, yang membuat Suu Kyi menjadi figur yang dipercaya oleh etnis minoritas. Kedua, fakta bahwa Suu Kyi adalah anak dari pendiri angkatan bersenjata Myanmar, yang kemungkinan besar mampu membawa angkatan bersenjata untuk mendukungnya.[15] Kedua hal ini menyebakan Suu Kyi dapat menggunakan kapasitasnya untuk meng-organisir kekuatan dari masyarakat Myanmar yang merasa tertindas oleh pemerintahan militer, untuk melakukan gerakan sosial dalam memperbaiki keadaan dalam negeri pada umumnya dan memperbaiki kondisi rakyat Myanmar khususnya.
Ketiga framing ability, faktor yang terakhir adalah kemampuan men-framing ide-ide atau aspirasi orang atau kelompok-kelompok tertentu. Hal ini penting bertujuan sebagai cara menyatukan aspirasi dan kepentingan orang atau kelompok tersebut. Sama halnya yang terjadi di Myanmar, dimana dibutuhkan seseorang yang mampu memimpin dan men-framing kepentingan dan aspirasi dari rakyat yang tertindas. Dalam hal ini, masih dikenal tokoh pro-demokrasi Aung San Suu Kyi yang dalam mengakomodir kepentingan rakyat yang tertindas, maka dibentuklah sebuah partai pro-demokrasi National League for Democracy (NLD). Partai ini dibentuk agar rakyat Myanmar memiliki wakil yang dapat dijadikan pemimpin dan dapat mendengarkan aspirasi rakyat yang tertindas. Jika telah terdapat kemampuan untuk men-framing kepentingan rakyat ini, maka gerakan sosial dalam menentang pemerintahan militer akan berjalan dengan mudah.
Gerakan sosial muncul di Myanmar datang dari berbagai macam kelompok yang menginginkan pemerintahan otoriter junta militer segera berakhir. Pertama, kelompok agamawan (sangha Buddha/biksu) yang biasa dikenal dengan istilah monastic order. Semua orang percaya bahwa tentara tidak akan berani bertindak keras terhadap biksu, namun pada 20 Oktober 1990 dibawah perintah Jenderal Sauw Maung memerintahkan pembekuan semua organisasi Buddha yang berhubungan dengan gerakan pro-demokrasi. Para komandan tentara diberi kekuasaan untuk menangkap, memenjarakan bahkan mengeksekusi para biksu yang melanggar peraturan pemerintah, dalam hal ini junta militer. Dua hari kemudian, diatas ratusan biara di kota Mandalay tentara menyebarkan ribuan selembaran melalui helikopter yang menyerukan agar para biksu menghentikan boikot mereka. Kemudian tentara bertindak, 133 biara diserbu, ratusan biksu ditangkap termasuk U Thumingala, kepala biara yang paling dihormati di Myanmar. Ketika tentara menunjukkan bahwa mereka tidak ragu untuk bertindak bahkan kepada biksu, bagian yang sangat dihormati di Myanmar, gerakan pro-demokrasi kehilangan arah dan mengalami langkah mundur. Namun mundurnya gerakan biksu ini, menyebabkan munculnya kelompok-kelompok pro-demokrasi lainnya.[16]
Kedua, gerakan sosial datang juga dari etnis minoritas yang merasa terancam dan melakukan perlawanan militer terhadap aparat militer pemerintah pusat. Suku Karen misalnya, membentuk sebuah organisasi yang dinamakan Karen National Union (KNU) pada tahun 1947. Sayap militer KNU adalah Karen National Liberation Army (KNLA), keduanya memiliki pemimpin bernama Ziporah Sein, yang mana sebelumnya beliau merupakan pemimpin organisasi wanita Karen. Selain itu, etnis lainnya membentuk sebuah organisasi yang berasal dari suku Kachin yang membentuk Kachin Independent Organization (KIO) yang dipimpin oleh  U Naw Mahtu. Serta kelompok-kelompok kecil dari suku Shan membentuk United Wa State Army (UWSA) yang dipimpin oleh Bao Youxiang.[17]
Ketiga, selain organisasi-organsasi dari etnis minoritas, adapula sekelompok orang yang secara sembunyi-sembunyi membentuk pemerintahan yang diproklamirkan sendiri, yaitu National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB). Pemerintahan ini memiliki perdana mentri DR.Sein Win yang berdiri secara individual. Beberapa orang yang menjadi anggota NCGUB ini merupakan anggota yang terpilih secara sah oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1990. Kelompok ini kabur ke wilayah perbatasan dan bergabung dengan pemberontak pada Desember 1990 untuk membentuk pemerintahan paralel di pengungsian. NCGUB atau semacam pemerintahan koalisi nasional ini sebenarnya berasal dari bentukan partai NLD (National League for Democracy), yang mana memiliki agenda tunggal mengganti dengan sesegera mungkin rezim militer pimpinan Jenderal Than Swhe dengan pemerintahan yang demokratis atau biasa dikenal dengan istilah rezim change. [18]
Keempat, gerakan sosial selain datang dari kelompok agamawan, organisasi dan kelpmpok etnis minoritas, adapula gerakan sosial yang berasal dari partai politik yang dibentuk sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap pemerintahan militer. Salah satu partainya adalah The United National League for Democracy (UNLD) yang didirikan pada tahun 1989. Partai yang sekaligus menjadi organisasi politik untuk suku non-burma dalam pemilihan umum pada tahun 1990. Dalam pemilu tahun 1990, partai ini memenangkan 67 kursi, kedua setelah NLD (National League for Democracy). Dibawah slogan demokrasi dan kesetaraan, UNLD berkeinginan untuk mendirikan negara federal berdasarkan demokrasi dan kesetaraan politik yang meliputi semua suku bangsa di Myanmar.[19]
Banyaknya partai politik yang muncul seperti ; League for Democracy (LDP) yang didirikan oleh perdana menteri U Nu, bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan otoriter militer dan menciptakan pemerintahan demokrasi. Selain itu, ada pula partai yang didirikan oleh Moe Thin Zon yaitu Democratic Party for a New Society (DPNS). Namun karena pergerakan demokrasi ini ditentang oleh pemerintah militer, maka Mao Thin Zon beserta para pengikutnya melakukan gerakan masuk hutan dan juga melakukan pemberontakan bersenjata untuk melawan pemerintahan junta militer.[20]
Dalam proses demokrasi di Myanmar, banyak bermuculan partai politik. Salah satu partai yang sangat berpengaruh dalam melawan pemerintahan otoriter milter ialah partai National League for Democracy (NLD). Partai ini didirikan oleh Aung San Suu Kyi, U Tin Ooo dan Aung Gyi, dimana bertujuan untuk mewujudkan demokratisasi. Sehingga tidak mengherankan bila partai ini memiliki banyak pendukung yang berasal dari beberapa golongan masyarakat. Oleh karena itu, partai ini memenangkan pemilu yang diadakan pada tahun 1990. Namun karena berkuasanya pemerintah militer secara totaliter, maka kemenangan itu tidak diterima dan pemerintahan militer menolak melakukan perpindahan kekuasaan dari militer ke sipil.
Keseluruhan gerakan sosial di Myanmar, baik itu melalui kelompok agamawan, organisasi maupun partai-partai politik yang mendukung terwujudnya demokratisasi di Myanmar tentunya harus mendapatkan dukungan, baik itu dukungan internal mupun eksternal. Dukungan internal datang dari rakyat Myanmar yang menginginkan kekuasaan junta militer barakhir, agar tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia yang menyengsarakan rakyat Myanmar. Sedangkan dukungan eksternal datang dari dunia internasional yang mengecam pelanggaran hak asasi manusia dan mendukung terwujudnya demokratisasi di Myanmar.
Salah satu dukungan eksternal datang dari organisasi internasional yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan menghormati asas-asas demokrasi, yaitu Uni Eropa. Melalui parlemen Uni Eropa menyatakan bahwa akan mendukung rakyat Burma/Myanmar setidaknya dalam tiga hal ;
Pertama, meningkatkan dan memberikan bantuan dana dalam bidang kemanusiaan, bahkan Uni Eropa telah memberikan 30juta Euro bantuan. Misalnya dana 3D dalam menyediakan obat antivirus dan bagi seratus ribu pasien di Myanmar, karena setidaknya ada empat puluh ribu penduduk Myanmar memerlukan obat-obatan. Selain itu, Uni Eropa juga membantu menanggulangi meningkatnya tekanan ekonomi dan sosial yaitu dengan cara mengurangi tingkat kemiskinan, populasi pengungsi, bahkan para pekerja imigran harus dibatasi jumlahnya. Dewan keamanan menyebutkan hampir 3-5 juta imigran Myanmar bekerja di Thailand, serta bersama ratusan ribu pekerja di India, Bangladesh, Srilangka, Indonesia dan lain-lain. Kini diperkirakan setidaknya ada 10% jumlah penduduknya berasal dari Myanmar. Jika ingin memperbaiki demokrasi di Myanmar, maka perlu terlebih dahulu mengatasi masalah serius ini, yaitu dengan membatasi kekuatan militer dan menjangkau lebih banyak dukungan dari manapun itu.[21]
Kedua, sangatlah penting untuk segera memperluas bantuan dalam bidang hak asasi manusia dan demokrasi terhadap masyarakat Myanmar. Seperti saat kampanye oleh gerakan demokrasi Myanmar untuk menggugat referendum pada bulan Mei 2008 dan rencana diadakannya pemilu 2010, haruslah didukung dengan adanya tranformasi konflik, pendidikan demokrasi, mendukung adanya media independen, pengembangan partai-partai maupun organisasi politik, kampanye pemilu, tata pemerintahan yang baik, gencatan senjata dan rehabilitasi para pejuang, masyarakat sipil dan berbagai program pemberdayaan lainnya. Dengan cara-cara inilah, akan ditemukan cara dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di Myanmar.
Ketiga, melanjutkan upaya-upaya membangun sebuah consensus international di Burma. Uni Eropa menunjuk perwakilannya Piero Fassino sebagai utusan dari Uni Eropa untuk Burma yang mendukung upaya PBB Ibrahim Gambari untuk menyelesaikan masalah di Myanmar. Uni Eropa juga memiliki sebuah proyek dalam membantu etnik minoritas yang tinggal diperbatasan Myanmar. Ini dibuktikan dalam salah satu statement yang dikeluarkan perwakilan Uni Eropa di Bangkok. Menurut kepala Komisi Uni Eropa untuk Thailand dan Myanmar, Duta Besar Klauspeter Schmallenbach, menyatakan bahwa proyek Uni Eropa di Myanmar dimotivasi dari rasa keprihatinan kemanusiaan. Dari keseluruhan total bantuan Uni Eropa seniali 9,2 juta Euro, terdapat 1,2 juta Euro diperuntukkan bagi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), khususnya bagi rencana pendidikan pengungsi etnik Karen dan lainnya senilai 510.000 Euro akan diberikan dalam bidang kesehatan, sama halnya yang diluncurkan oleh organisasi internasional lainnya untuk membantu memindahkan 20.000 penduduk etnik Shan.[22]
Pemerintahan otoriter Myanmar yang banyak melanggar hak asasi manusia bagi warga sipil. Sehingga menyebabkan keadaan dalam negeri Myanmar kacau, hal ini menimbulkan resopn dari dunia internasional terhadap penderitaan yang dialami rakyat Myanmar, dimana negara-negara tertentu mengambil tindakan untuk menghukum junta militer Myanmar. Dalam hal ini Amerika Serikat mengambil tindakan dengan memperketat embargo yang sudah diterapkan satu tahun sebelumnya. Pada Juli 2003, sebagai bagian dari US Burmese Act 2003 Amerika mulai melarang semua impor yang diproduksi di Myanmar. Pengaruh langsungnya, larangan ini menghilangkan bagian yang cukup besar dari sumber pendapatan rezim militer. Selain itu pada tahun yang sama Amerika juga melarang semua transaksi keuangan dan pengiriman uang dengan menggunakan dolar AS terhadap Myanmar. Pada 20 Mei 1997, Amerika Serikat juga melarang semua investasi baru di Myanmar yang dilakukan oleh warga negara Amerika ataupun perusahaan Amerika Serikat, serta menarik dan memberhentikan untuk sementara beberapa hak istimewa perdagangan dan masih banyak lagi sanksi lainnya yang timbul sebagai respon dari meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia.[23]
Selain dari negara-negara Barat, respon juga timbul dari organisasi  terbesar di Asia Tenggara, yaitu ASEAN (Association of Southeast Asia Nations). Sebagaimana sikap ASEAN terhadap Laos dan Vietnam, sikap ASEAN terhadap Myanmar tidak jauh berberda. Yakni menekankan prinsip tidak mencampuri urusan negara lain. Oleh karena, meskipun Myanmar dikuasai junta militer yang represif, ASEAN tetap mengusahakan cara-cara damai dalam menghadapi konflik internal Myanmar. ASEAN juga mengembangkan pendekatan constructive engagement yang intinya berupaya untuk membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar dengan cara-cara Asia Tenggara tanpa harus menggunakan kekerasan. Pendekatan ini mengundang kecaman dari negara-negara besar yang menghendaki ASEAN mengisolir Myanmar agar mengubah kondisi dalam negerinya.[24]
Sama halnya dengan Uni Eropa, selain memberikan dukungan dan bantuan dana terhadap rakyat Myanmar dan mendukung terwujudnya demokratisasi, juga memberikan respon yang sangat keras dalam mengutuk tindakan junta militer yang telah banyak menyengsarakan rakyat Myanmar. Respon Uni Eropa melalui sebuah tindakan yaitu dengan mengeluarkan kebijakan sanksi untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan militer Myanmar. Sejak tahun 1990 sampai 2008, Uni Eropa sangat rajin memberikan sanksi terhadap Myanmar. Baik itu berupa sanksi keamanan, perdagangan dan diplomatik. Selain itu Uni Eropa juga mengeluarkan sanksi-sanksi seperti embargo senjata, larangan investasi yang berhubungan dengan senjata, penghentian bantuan kerjasama kemanan, larangan berpergian bagi pejabat militer ke wilayah kekuasaan Eropa serta pembekuan asset bagi penguasa militer.[25]
Penutup
Telah banyak penulis yang membahas mengenai hubungan erat antara gerakan sosial dengan demokratisasi.  Adanya gerakan sosial merupakan salah satu cara penting dalam mewujudkan demokrasi, karena gerakan sosial memiliki kapasitas lebih dalam menggulingkan pemerintahan yang tidak mengutamakan kepentingan rakyatnya. Jika pemerintahan dianggap sangat merugikan mayoritas rakyatnya, maka orang-orang atau sekelempok tertentu akan membentuk sebuah perkumpulan dengan kepentingan dan tujuan yang sama, yaitu  untuk menggulingkan pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan mereka. Sama halnya yang terjadi di Myanmar, dimana telah lama dikuasai oeleh pemerintahan junta militer. Dalam pemerintahannya, junta militer banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran termasuk hak asasi manusia bagi rakyatnya. Sehingga menimbulkan gerakan sosial yang menentang pemerintahan junta militer.
Tulisan ini telah menjelaskan beberapa gerakan sosial yang terbentuk akibat kekuasaan pemerintahan otoriter militer Myanmar. Gerakan-gerakan sosial ini beberapa datang dari kelompok agamwan, kelompok dan organisasi etnis minoritas serta partai politik, namun kurang terkonsolidasi. Mereka membentuk terlalu banyak kelompok-kelompok, sehingga mengalami kesulitan dalam mengorganisir mereka. Jika seluruh rakyat Myanmar bersatu dalam satu kelompok saja, maka mereka akan mendapatkan kekuatan yang lebih besar, sehingga dapat lebih mudah menggulingkan pemerintahan otoriter yang menguasai mereka.
Pada saat ini, militer masih memegang kekuasaan dan masih sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Gerakan sosial yang muncul ternyata belum mampu menghasilkan demokratisasi di Myanmar. Namun dengan adanya gerakan sosial ini melalui aksi protes, demonstrasi besar-besaran oleh rakyat Myanmar ternyata membawa manfaat tersendiri. Dimana dengan adanya gerakan sosial ini, menyebabkan mata dunia internasional tertuju pada kejadian-kejadian dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar. Sehingga timbul respon dari dunia internasional, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui sanksi-sanksi dan juga bantuan yang ditujukan untuk mendukung gerakan sosial yang akan mewujudkan demokratisasi di Myanmar. Penerapan sanksi menjadikan mata dunia internasional terfokus pada Myanmar. Ini membuat pemerintah Myanmar sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan. Penerapan sanksi juga membuat partai-partai pro-demokrasi serta Aung San Suu Kyi dan anggota NLD lainnya masih hidup hingga sekarang.




DAFTAR BACAAN
Buku :
A.A. Sahid Gatara. Ilmu Politik Memahami dan Menerapkan (Bandung : Pustaka Setia.2009)
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007)
Bertil Lintner. Burma Revolt, Opium and Insurgency Since 1948 (Thailand: Silkwormsbooks.2004)
David Held. Demokrasi dan Tatanan Global. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004)
Skripsi :
Giandi Kartasasmita, Pengaruh Sanksi Amerika Serikat dan Uni Eropa Terhadap Transisi Demokrasi di Myanmar (1988-sekarang). Skripsi FISIP-HI Universitas Parahyangan, tidak diterbitkan, 2006.

Jurnal :
Wolfgang Merkel. Demokrasi Di Asia; Sebuah Benua Antara Diktator dan Demokrasi, dalam Jurnal Demokrasi Di Asia.

International Crisis Group Report 26 April 2004 “Myanmar Sanctions, Engagement or Another Way Forward” (Brussel : IGG. 2004)

Website :

“Sejarah HAM”, dalam www.ham.go.id/sejarah.asp. diakses 2 Juni 2008

“PBB Desak Myanmar Akhiri Pelanggaran HAM”, dalam http://www.kapanlagi.com/h/0000091385.html, diakses 23 April 2009

“Pelanggaran HAM Di Myanmar”,  dalam http://aseanerspublications.blogspot.com/2006/02/pelanggaran-ham-di-myanmar-dan.html, diakses 23 April 2009.
M. Adian Fimas. Prospek Demokrasi Di Myanmar. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=93&type=3, diakses 10 Mei 2010
‘Tragedi Myanmar In Defence of Marxism”, dalam http://www.indomarxist.co.nr/, diakses 29 Me 2009
Charles Dobson. Social Movement : A Sumarry of What Works. Dalam http://www.vcn.bc.ca/citizens-handbook August 2001, diakses 5 Mei 2010
 “Krisis Myanmar dan Kepentingan Negara Besar”, dalam http://rizkisaputro.wordpress.com, diakses 28 Februari 2009
“Myanmar (Formely Burma)”, dalam http://www.alertnet.org/thefact/countryprofoies, diakses 20 Desember 2009

“Promoting Change In Burma/Myanmar, The Impact of EU Policies”, dalam www.europarl.europa/eu/document/activities/cont/20080403ATT25673/20080403ATT25673EN.pdf, diakses 9 Agustus 2009

“EU Grants Million for Burma Groups”, dalam www.irrawaddy.org/article.php?art_id=317, diakses 10 Agustus 2009

“Eropa Tidak Berdaya Soal Myanmar”, dalam http://www.portalhi.web.id, diakses 23 Maret 2009         






[1] A.A. Sahid Gatara. Ilmu Politik Memahami dan Menerapkan (Bandung : Pustaka Setia.2009), hlm 251
[2] “Sejarah HAM”, dalam www.ham.go.id/sejarah.asp. diakses 2 Juni 2008
[3] David Held. Demokrasi dan Tatanan Global. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004), hlm 16
[4] Wolfgang Merkel. Demokrasi Di Asia; Sebuah Benua Antara Diktator dan Demokrasi, dalam Jurnal Demokrasi Di Asia.

[5] “PBB Desak Myanmar Akhiri Pelanggaran HAM”, dalam http://www.kapanlagi.com/h/0000091385.html, diakses 23 April 2009
[6]Pelanggaran HAM Di Myanmar”,  dalam   http://aseanerspublications.blogspot.com/2006/02/pelanggaran-ham-di-myanmar-dan.html, diakses 23 April 2009.

[7] M. Adian Fimas. Prospek Demokrasi Di Myanmar. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=93&type=3, diakses 10 Mei 2010
[8] Giandi Kartasasmita, Pengaruh Sanksi Amerika Serikat dan Uni Eropa Terhadap Transisi Demokrasi di Myanmar (1988-sekarang). Skripsi FISIP-HI Universitas Parahyangan, tidak diterbitkan, 2006, hlm 39
[9] M. Adian Fimas., Op.Cit
[10] Giandi Kartasasmita., Op.Cit. hlm 46.
[11] “Tragedi Myanmar In Defence of Marxism”, dalam http://www.indomarxist.co.nr/, diakses 29 Me 2009
[12] Charles Dobson. Social Movement : A Sumarry of What Works. Dalam http://www.vcn.bc.ca/citizens-handbook August 2001, diakses 5 Mei 2010
[13] Ibid.
[14] Bertil Lintner. Burma Revolt, Opium and Insurgency Since 1948 (Thailand: Silkwormsbooks.2004), hlm 345
[15] Ibid. hlm 370
[16] “Krisis Myanmar dan Kepentingan Negara Besar”, dalam http://rizkisaputro.wordpress.com, diakses 28 Februari 2009
[17] Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007), hlm 159
[18] “Myanmar (Formely Burma)”, dalam http://www.alertnet.org/thefact/countryprofoies, diakses 20 Desember 2009
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] “Promoting Change In Burma/Myanmar, The Impact of EU Policies”, dalam www.europarl.europa/eu/document/activities/cont/20080403ATT25673/20080403ATT25673EN.pdf, diakses 9 Agustus 2009
[22] EU Grants Million for Burma Groups, dalam www.irrawaddy.org/article.php?art_id=317, diakses 10 Agustus 2009

[23] International Crisis Group Report 26 April 2004 “Myanmar Sanctions, Engagement or Another Way Forward” (Brussel : IGG. 2004), hlm 25.
[24] Bambang Cipto., Op.Cit., hlm 70
[25] “Eropa Tidak Berdaya Soal Myanmar”, dalam http://www.portalhi.web.id, diakses 23 Maret 2009             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar