Laman

Sabtu, 12 Februari 2011

Pengaruh Kebijakan Nuklir Amerika Serikat di Kawasan Asia Timur dan Tenggara


Perkembangan hubungan internasional saat ini tidak terlepas dari isu-isu yang berkembang didalamnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun militer. Bidang ekonomi dapat dilihat dari kerjasama yang dibangun antara beberapa negara. 

Sama halnya dalam bidang militer, dapat dilihat dengan perkembangan teknologi persenjataan yang diterapkan oleh beberapa negara maju. Seperti pengembangan teknologi nuklir yang awalnya diterapkan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada saat Perang Dingin, kedua negara ini saling bersaing dalam bidang persenjataan yang lebih canggih. Amerika Serikat dan Uni Soviet masing-masing saling menciptakan teknologi senjata nuklir untuk mencapai tujuan dan menimbulkan efek deterrence antara kedua negara yang bertikai itu. Istilah Perang Dingin ini pertama kali ditemukan oleh Bernard Barruch pada tahun 1947, penasihat senior Harry Truman yang menunjukkan keadaan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada saat itu.


Pengantar
Perkembangan teknologi nuklir ini tidak saja dimiliki dan dikembangkan oleh negara-negara Barat. Namun negara di Asia ikut pula membuat dan memiliki senjata nuklir tersebut, seperti Jepang, Cina, Korea Selatan dan India merupakan beberapa negara yang ikut mengembankan teknologi nuklir ini. Melihat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan dan uji coba nuklir ini, menjadikan penggunaan nuklir ini haruslah lebih hati-hati dan harus menjadi pertimbangan yang sangat serius bagi negara yang baru berencana untuk mengembankan senjata pemusnah masal tersebut. Dapat dilihat dalam pengeboman Nagasaki dan Hiroshima (Jepang) pada masa Perang Dunia II, yang mana efeknya masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Jepang sampai sekarang. Selain itu bencana Chernobyl di Rusia juga dapat memberikan gambaran betapa besarnya bahaya nuklir tersebut.

Penciptaan teknologi nuklir ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh negara-negara besar yang ikut mengembangkan senjata pemusnah massal ini. Seperti Amerika Serikat yang pada awalnya menciptakan nuklir untuk memenangkan Perang Dunia II dan Perang Dingin, sehingga dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat berpengaruh terhadap kepemilikan dan pengembangan senjata nuklir ini. Namun apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat, dapat ikut serta menstabilkan kawasan Asia Timur dan Tenggara, terutama negara-negara sekutunya? Hal inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

Amerika Serikat dan Penggunaan Senjata Nuklir
Penggunaan nuklir berkembang pesat saat Perang Dingin antara tahun 1940-an sampai 1990-an. Setelah Perang Dunia II berakhir, muncullah dua negara besar sebagai pemenang Perang, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perbedaan ideologi antara kedua negara ini memicu lahirnya Perang Dingin. Amerika Serikat dengan ideologi Liberalis-Kapitalis, sedangkan Uni Soviet dengan Sosialis-Komunisnya. Untuk mendukung keberhasilan memenangkan Perang Dingin ini, mereka mengajak negara-negara lain untuk menjadi sekutu mereka. Amerika Serikat di Blok Barat dengan sekutunya Inggris, Prancis, Jerman Barat, Jepang dan Kanada. Sedangkan di Blok Timur Uni Soviet dengan sekutunya Eropa Timur termasuk Bulgaria, Czechoslovakia, Hungary, Polandia, Jerman Timur, Rumania. Pada saat Perang Dingin berlangsung Cuba dan China ikut serta menjadi sekutu Uni Soviet. Berlangsungnya Perang Dingin ini tidak terlepas dari beberapa kebijakan Amerika Serikat dalam menghadapi Uni Soviet dan juga terkait dengan penggunaan senjata nuklir, yang dibagi kedalam beberapa periode :

Periode 1945-1969
Pasca Perang Dunia II perkembangan politik dunia telah berubah, dimana ada dua kekuatan besar yang menjadi penguasa yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada saat itu Amerika Serikat di pimpin oleh Presiden Harry S. Truman yang mendeklarasikan sebuah doktrin yang disebut Doktrin Truman. Doktrin ini menggarisbawahi strategi pembendungan politik luar negeri Amerika Serikat sebagai cara untuk menghambat ambisi ekspansionis Uni Soviet. Untuk mencapai tujuan itu Amerika Serikat merekrut sekutunya, karena menurut teori domino jika negara satu runtuh maka negara tetangga lainnya juga akan ikut runtuh. Oleh karena itu Amerika Serikat membentuk sebuah aliansi pertahanan yang dikenal dengan sebutan NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada 1949 di Washington. Dipihak lain Uni Soviet membentuk juga sebuah aliansi yaitu Pakta Warsawa (Warsawa Pact) pada 1955 di Praha. Diberbagai kawasan lain juga muncul blok-blok yang mendukung salah satu negara adidaya tersebut. Seperti di Asia Tenggara muncul SEATO (South East Asia Treaty Organization) pada 1954 di Manila. Organisasi ini dibentuk untuk menahan pengaruh komunis menyebar di kawasan Asia Tenggara, terutama di Vietnam.

Periode 1969-1979 
Berbeda pada periode sebelumnya, saat ini hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet mengalami perubahan drastis. Pada saat itu Amerika Serikat dipimpin oleh Presiden Richard Nixon yang didampingi oleh penasihat keamanannya Henry Kissinger. Richard Nixon menempuh pendekatan baru terhadap Uni Soviet pada tahun 1969. Pendekatan ini disebut pendekatan détente (peredaan ketegangan) yang merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kepentingan tertentu dalam sebuah kerjasama dan perbatasan. Sehingga didalamnya tercipta sebuah lingkungan, dimana mereka yang berkompetisi dapat meregulasi dan menghambat perbedaan diantara mereka dan akhirnya akan melangkah dari kompetisi menuju kerjasama. Sebagai langkah lanjut pendekatan ini, pada 26 Mei 1972 Presiden Richard Nixon dan Presiden Rusia Lenoid Brezhnev menandatangani perjanjian SALT I (Startegic Arms Limitation Treaty I) di Moskow. SALT I berisi kesepakatan untuk membatasi persediaan senjata-senjata nuklir strategis/Defensive Antiballistic Missile System. SALT I juga berisi kesepakatan untuk membatasi jumlah misil nuklir yang dimiliki oleh kedua belah pihak, sehingga Uni Soviet hanya diijinkan untuk memiliki misil maksimal 1600 misil, dan AS hanya diijinkan memiliki 1054 misil.

Periode 1979-1985
Setelah sepuluh tahun dilaksanakan pendekatan détente ini, ternyata Uni Soviet tidak kuat lagi untuk menjalaninya. Terbukti pada tahun 1979, Uni Soviet menduduki Afganistan yang secara langsung ikut menarik pasukan Uni Soviet masuk ke Afganistan. Hal ini mengundang reaksi keras dari Amerika Serikat, sehingga Presiden mengeluarkan Doktrin Carter yang menyatakan bahwa Amerika Serikat akan mennggunakan kekuatan militernya di Teluk Persia. Meskipun ketegangan terjadi antara kedua negara ini, namun mereka masih bisa menjalin kerjasama dengan penandatangan SALT II (Strategic Arms Limitation Treaty II) pada tahun 1979 di Vienna. Pada saat itu Carter dan Brezhnev setuju untuk membatasi kepemilikan peluncur senjata nuklir maksimal 2400 unit, dan maksimal 1320 unit Multiple Independently Targeted Reentry Vehicle (MIRV). Selain itu, mereka juga menyepakati Perjanjian Pengurangan Senjata-senjata Strategis (Strategic Arms Reduction Treaty/START) pada tahun 1982 yang berisi kesepakatan untuk memusnahkan senjata nuklir yang berdaya jarak menengah.

Periode 1985-1991
Pada periode ini merupakan masa keruntuhan Uni Soviet, pada saat itu Uni Soviet dipimpin oleh Presiden Mikhail Gorbachev yang menerapkan perubahan besar-besaran di Uni Soviet dikenal dengan Glasnost dan Perestroika (Kebebasan dan keterbukaan). Namun ini menimbulkan reaksi keras dari tokoh-tokoh komunis dalam negeri . Puncaknya terjadi pada Kudeta tanggal 19 Agustus 1991 yang didalangi oleh Marsekal Dimitri Yazow (Menteri Pertahanan), Jenderal Vladamir Kruchkov (Kepala KGB), dan Boris Pugo (Menteri Dalam Negeri). Namun ternyata kudeta itu gagal karena mendapat perlawanan dan penolakan dari rakyat Uni Soviet dibawah pimpinan Boris Yeltsin dan Unit Militer Uni Soviet. Sebagai akibat dari kudeta itu Latvia, Lithuania, Estonia, Georgia, Maldova memisahkan diri dari Uni Soviet. Latvia, Listhuania dan Estonia sendiri berhasil memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet pada tanggal 6 September 1991. Pada saat terpecahnya Uni Soviet tersebut menandai berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan di pihak Amerika Serikat.

Berakhirnya Perang Dingin, kepemilikan dan pengembangan senjata nuklir tidak berakhir sampai disitu saja. Bahkan bertambah banyak negara yang ikut mengembangkannya, sehingga dibutuhkan pengaturan dalam pemakaiannya. Oleh karena itu muncul beberapa perjanjian-perjanjian dan kerjasama-kerjasama yang mengatur pemakaian nuklir bagi negara yang telah mengembangkan nuklir, maupun bagi negara yang baru akan menggunakannya. Diantaranya adalah International Atomic Energy Agency (IAEA), pada tahun 1957. IAEA ini merupakan sebuah kerjasama yang bergerak dalam bidang nuklir yang bertujuan untuk mengatur penggunaan nuklir dengan tujuan damai, bukan digunakan sebagai alat saling menyerang antara negara satu dengan negara lainnya. Dalam IAEA ini terdapat tiga pilar utama dalam pendiriannya, yaitu ; Pertama, mempromosikan perlindungan dan verifikasi, Kedua, Mempromosikan keselamatan dan keamanan, Ketiga, mempromosikan sains dan teknologi. Sampai saat ini, IAEA telah memiliki anggota kurang lebih 151 negara.

Salah satu tujuan IAEA ini adalah untuk promosi terhadap perlindungan dan verifikasi nuklir. IAEA merupakan sebuah inspektorat dalam bidang nuklir di dunia yang memiliki kelayakan verifikasi selama lebih dari emapat tahun. Inspektorat ini bekerja untuk memastikan bahwa bahan nuklir dijaga dan dalam kegiatannya tidak digunakan untuk tujuan militer. Untuk itu, IAEA memeriksa fasilitas nuklir dan sehubungan dengan perjanjian perlindungan dengan lebih dari 145 negara diseluruh dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara menyepakati perjanjian untuk tidak memiliki senjata nuklir. Kesepakatan ini diwujudkan dalam traktat global NPT (Non-Proliferation of Nuclear Weapons Treaty). Dalam traktat ini merupakan hasil dari kesepakatan yang dibuat dari otoritas verifikasi IAEA. Non-Proliferation of Nuclear Treaty didalamnya terdapat tiga pilar lagi yaitu ; pelucutan nuklir (nuclear disarmament), penghentian pengembangan nuklir (non-proferation), dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Dalam artian semua negara berhak atas energi nuklir damai; negara-negara yang memiliki senjata nuklir bertanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah pencabutan senjata tersebut; dan negara-negara yang tidak memilikinya bertanggung jawab untuk tidak membuatnya.

Dengan adanya IAEA dan NPT tidak secara langsung dapat menstabilkan kawasan-kawasan yang didalamnya terdapat negara-negara pemilik dan pengembang nuklir. Terbukti pada tahun 1993, terjadi krisis di Korea Utara yang bermula dari penolakan Korea Utara terhadap pemeriksaan dua lokasi pembuangan limbah nuklir oleh IAEA, sehingga secara langsung hal ini melanggar kewajiban Korea Utara yang telah menandatangani NPT (Non-Proliferation Treaty). Pada tahun 1994, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang mendirikan sebuah organisasi KEDO (Korean Peninsula Development Organization) yang bertujuan untuk menyelamatkan krisis di Korea Utara dan juga untuk menumbuhkan kesadaran menuju negara yang demokrasi. Meskipun organisasi ini telah ada, namun tidak membawa perubahan signifikan pada krisis yang terjadi di Korea Utara. Hal ini dapat diliat pada tahun 2010 terjadi konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan mengenai perbatasan dan Korea Utara tetap menolak untuk melucuti senjata nuklirnya

Tahun 2009 terjadi pertemuan kedua pemimpin negara pengguna nuklir terbesar, Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Pada pertemuan itu pula Barack Obama menyatakan visinya mengenai sebuah dunia yang bebas nuklir. Melalui pertemuan tersebut kedua negara ini bersepakat untuk mengurangi senjata nuklir mereka dari sekitar 1.600 menjadi 700-800, bahkan kedua negara sepakat mengurangi bom, kapal selam dan rudal yang dipersenjatai nuklir menjadi 1000 unit. Perjanjian ini menggantikan START I (Strategic Arms Reduction Treaty/START) yang akan berakhir Desember 2009. Salah satu fitur penting dari perjanjian ini adalah mekanisme hukum untuk memverifikasi bahwa masing-masing pihak melakukan perlucutan senjata sesuai kesepakatan, sebuah elemen yang tidak terdapat dari kesepakatan 2002 yang dikenal sebagai Perjanjian Moskow.

Melihat beberapa kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat dan beberapa perjanjian yang disepakati ternyata belum mampu menstabilkan beberapa kawasan, khususnya kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Terbukti masih terjadi konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan, dimana Korea Selatan mendapat bantuan dari Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis di Korea Utara. Hal itu secara mentah-mentah ditolak oleh Korea Utara, karena merasa pihak luar terlalu mencampuri urusan dalam negeri Korea Utara. Sehingga Korea Utara tidak takut untuk melakukan uji coba nuklirnya yang mengundang reaksi keras dari negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat. Selain itu, beberapa perjanjian dan kerjasama yang dibangun dalam bidang nuklir belum bekerja secara efektif dalam mengatur penggunaan dan kepemilikan nuklir ini, karena dalam kerjasama dan perjanjian tersebut masih banyak dipengaruhi bahkan dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu, dalam hal ini negara-negara Barat seperi Amerika Serikat.

Selain itu, ada unsur penting yang harus diperhatikan oleh Amerika Serikat jika ingin berhasil dengan visinya dalam menerapkan sebuah negara yang bebas nuklir. Trust, sangatlah penting dalam menjalankan visi ini. Unsur kepercayaan ini sangatlah penting, dimana jika negara-negara lain percaya akan visi yang ditawarkan oleh Amerika Serikat dengan pemebebasan dunia dari nuklir, maka ini mungkin bisa berhasil dengan sempurna. Namun jika terjadi sebaliknya, dimana negara-negara lain tidak menaruh kepercayaan kepada Amerika Serikat mengenai pembebasan dunia dari nuklir , maka visi ini tidak mungkin akan berhasil. Mengingat banyaknya negara yang beranggapan bahwa Amerika Serikat melakukan itu hanya untuk mencapai kepentingannya saja, bukan kepentingan semua negara atau dunia. Amerika Serikat melarang penciptaan dan penggunaan nuklir, namun negaranya sendiri masih menggunakannya.

Kesimpulan
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat tentang nuklir, dimulai sejak Perang Dingin sampai sekarang belum menampakkan hasil yang sempurna. Dimana makin marak negara-negara lain menciptakan dan mengembangkan teknologi nuklir ini. Adapun tentang pernyataan Barack Obama baru-baru ini di Jepang : ‘Selama senjata-senjata ini masih ada, maka Amerika Serikat akan mempertahankan penangkal nuklir yang kuat dan efektif untuk menjamin pertahanan sekutu-sekutu kami, termasuk Korea Selatan dan Jepang’. Apakah kebijakan yang dikeluarkan Obama ini bisa menstabilkan kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu terlebih dahulu melihat keadaan negara-negara sekutu Amerika Serikat, apakah mereka sudah merasa aman atau belum. Dalam hal ini Korea Selatan masih memiliki konflik dengan Korea Utara. Dimana Korea Utara tetap mengembangkan teknologi nuklir, meskipun telah mendapat sanksi dan kecaman dari negara-negara lainnya. Untuk mengimbangi Korea Utara, Korea Selatan mungkin bisa saja ikut menciptakan dan mengembangkan nuklir juga, namun hal ini tidak dilakukan karena sebagai salah satu negara sekutu Amerika Serikat, Korea Selatan merasa akan mendapat bantuan dari negara super power itu . Dinamika yang terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan menunjukkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat belumlah mampu menstabilkan kawasan Asia Timur dan Tenggara. Jika Amerika Serikat ingin mencapai tujuannya yakni sebuah negara yang bebas nuklir, maka harus ada kepercayaan dari negara-negara lain terhadap visi yang ditawarkan Amerika ini. Jika tidak ada kepercayaan dari negara lain, maka visi dunia bebas nuklir tidak akan tercapai melainkan hanya menjadi sebuah wacana saja.




Daftar Bacaan

Buku :
Bambang Cipto. 2007, Hubungan Internasional Di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Ensiklopedia :
Cold War, dalam Ensiklopedia Microsoft Encarta Premium 2009

The end Of Cold War, dalam Ensiklopedia Microsoft EncartaPremiun 2009


Website :

Cold War. Dalam http://www.globalsecurity.org/military/ops/cold_war.htm, diakses 5 Februari 2011
President Truman and the Origins of the Cold War, Arnold A Offner dalam http://www.bbc.co.uk/history/worldwars/wwtwo/truman_01.shtml, diakses 4 Februari 2011

SALT I (Strategic Arms Limitation Treaty), dalam http://www.fas.org/nuke/control/salt1/text/salt1.htm, diakses 4 Februari 2011.

SALT II (Strategic Arms Limitation Treaty), dalam http://www.state.gov/www/global/arms/treaties/salt2-1.html, diakses 3 Februari 2011

Pilar Kerjasama Nuklir, dalam http://www.iaea.org/About/staff.html , diakses 10 Desember 2010

Promoting Safeguards and Verification, dalam http://www.iaea.org/OurWork/SV/index.html, diakses 9 Desember 2010
Perlucutan Nuklir Diteken di Praha, dalam http://bataviase.co.id/node/145819, diakses 5 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar