Laman

Rabu, 25 Oktober 2017

Politik Luar Negeri




1.      Terminologi Analisis Politik Luar Negeri (APLN)
Berbicara mengenai epistomologi Politik Luar Negeri, sama halnya ingin menjawab pertanyaan “Dengan Cara apa yang kita dapat lakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang Dunia?”. Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu terlebih dahulu mengetahui apa-apa saja yang menjadi fokus dalam APLN (Analisis Politik Luar Negeri) atau TPLN (Teori Politik Luar Negeri).
Dalam membahas Politik Luar Negeri (PLN), ada dua jenis terminologi penting yang perlu dijelaskan sejak awal, yakni Teori-teori Hubungan Internasional (THI) atau istilah lainnya Teori Politik Internasional (TPI) dan Teori2 Politik Luar Negeri (TPLN) yang didalamnya berisi Analisa Politik Luar Negeri (APLN) atau yang dikenal dengan istilah Foreign Policy Analysis (FPA). Kedua jenis terminologi ini adalah THI dan TPI dan TPLN dan APLN.
THI lebih luas daripada TPLN karena mempelajari mengenai semua teori yang berhubungan dengan hubungan internasional dan politik luar negeri termasuk perspektif realisme, liberalisme, konstruktivisme. Sedangkan TPLN dan APLN muncul sebagai reaksi terhadap asumsi unitary state dari realisme pada dekade 60-an dan 70-an. Seringkali APLN disebut sebagai sub-disiplin dari ilmu Hubungan Internasional.
Hudson memberikan defenisi mengenai APLN, adalah sub-disiplin HI yang mencoba menjelaskan PLN atau prilaku PLN berdasarkan landasan teoritis para pembuat keputusan yang bertindak sendirian atau berkelompok. Beberapa ciri utama yang menjadi komitmen APLN ini adalah komitmen untuk menganalisis dibawah level negara, yakni aktor-aktor tertentu. Komitmen untuk membangun teori tentang aktor-aktor khusus (actor-specific theory) ini sebagai jembatan antara teori umum tentang aktor (actor-general theory) dengan kompleksititas dunia, komitmen untuk mengusahakan penjelasan banyak faktor yang dibagi dalam tingkat analisis, komitmen untuk menggunakan teori dan penemuan diberbagai macam ilmu-ilmu sosial dan komitmen ini untuk melihat proses pembuatan keputusan PLN sama pentingnya dengan keputusan (output) itu sendiri.
Teori umum aktor (actor general theory), yang diungkapkan diatas menjelaskan prilaku aktor secara umum seperti game theory. Teori tentang actor-specific theorymenjelaskan mengenai prialku aktor-aktor khusus seperti dalam teori-teori yang digunakan APLN. Teori-teori spesifik mungkin saja digeneralkan tetapi penerapannya lebih kepada situasi khusus. Jadi APLN ini merupakan middle range theory yang sedikit lebih umum daripada teori atau pemahaman yang dihasilkan dalam kajian-kajian studi kasus, tetapi lebih terbatas dibandingkan generalisasi teori aktor umum.
Disini tidak akan dibahas mengenai THI,  akan tetapi lebih fokus membahas mengenai APLN dan TPLN. Dalam THI pembicaraan mengenai TPLN tidak secara langsung, namun secara implisit dalam konsep-konsep realisme dan liberalisme. Sedangkan TPLN dan APLN lebih eksplisit, mendalam dan terfokus dan langsung, baik secara metodologi maupun teori dalam memahami kebijakan Luar Negeri suatu negara. Membicarakan PLN tidak terlepas dari APLN. Sebelum teori-teori globalisasi menggugat posisi state sebagai aktor tunggal yg digunakan dalam pandangan realisme, APLN sudah memulainya lebih awal dengan menunjukkan bahwa aktor-aktor yg berperan dalam hubungan internasional adalah banyak dan kompleks.
Para pembuat keputusan yang berdomisili dalam suatu negara, melakukan interaksi yang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik domestik maupun internasional. Keputusan mereka adalah hasil interaksi dengan orang atau kelompok lain dan interpretasi mereka terhadap lingkungannya. Dalam era globalisasi sekarang keterkaitan antara kepentingan domestik para pembuat keputusan menjadi lebih saling terkait. Negara-negara semakin terlibat bukan saja dalam konflik tetapi juga dalam kerjasama diberbagai tingkatan regional dan internasional. Ini membawa kepentingan-kepentingan baru, termasuk kepentingan bagi perdamaian, pembangunan, perlindungan alami dan berbagai isu lainnya bagi para pembuat keputusan.
            Melihat perkembangan ini, maka Rosenau mengatakan bahwa APLN merupakan disiplin ilmu yang menjembatani (bridging discipline), suatu disiplin ilmu dengan ‘batas-batas yang tak terbatas (limitless boundaries) yang harus mengkaji semakin menghilangnya perbedaaan antara isu-isu domestik dan luar negeri, antara proses sosial politik dan proses ekonomi yang terungkap di dalam negeri terjadi di luar negeri.
            Sangat penting diamati dalam batas-batas yang tak terbatas itu adalah prilaku PLN suatu negara, melalui tindakan-tindakan yang dilakukan, kata-kata yang digunakan untuk mempengarhui negara lain dalam kebijakan LN. Prilaku PLN itu bisa berada dalam keadaan konflik dan kerjasama, bisa prilaku yang tidak direncanakan dan bisa juga tindakan yang tidak diambil oleh pemerintah.
2.    Perdebatan Metodologi Dalam HI dan APLN
Dalam perbincangan mengenai keilmuan dalam satu disiplin ilmu selalu terjadi perdebatan yang bersifat mendalam dan filosofis, seperti menyangkut apa ilmu pengetahuan dan apa yang layak disebut pengetahuan serta bagaiaman cara mendapatkannya. Dalam bidang keilmuan yang mapan seperti sains atau ilmu alam dan teknologi, perdebatan yang terjadi hanya dalam penyempurnaan metode penyeldikan, yang mencari cara penyelidikan atau model-model yang lebih tepat untuk hasil yang lebih akurat.
Dalam disiplin ilmu sosial seperti ilmu HI, perdebatan ini pasti sering terjadi. Para ilmuan HI ingin terus memperbaikai disiplin ini agar menjadi disiplin ilmiah, yang dapat membantu peradaban dan perdamaian dunia. Secara umum, ada dua perdebatan metodologi utama yakni, Pertama, perdebatan antara pendekatan metodologi tradisional atau klasik melawan saintifik pada akhir tahun 1960-an. Kedua, antara positivis/empiris melawan pos-positivis pada tahun 1980-an sampai sekarang.
Pertama, perdebatan para ilmuan HI tentang bagaimana metodologi HI yang paling ilmiah dan dapat memenuhi standar ilmu pengetahuan, terutama yang berlaku pada konteks tahun 1960-an-1970an, dimana ilmu sosial di dominasi oleh pendekatan behavioralisme dalam sains. Sebelum membahas mengenai perdebatan mereka. Maka perlu dipahami bahwa baik pendekatan saintifik maupun klasik mempunyai ambisi dan tujuan keilmuan yang sama, yakni mencoba mencari satu penjelasan atau teori relatif akurat untuk menjelaskan prilaku negara-negara dalam hubungan internasional. Artinya mereka mencoba mencari keteraturan-keteraturan dalam prilaku negara berhubungan dengan negara lainnya yang dapat dirumuskan dalam proposisi dan teori-teori tertentu.
Perintis pendekatan saintifik ini yang sering dikenal juga dengan behaviourist adalah David Singer dan Morton Kaplan. Bagi mereka, HI akan maju bila meniru model ilmu-ilmu alam. Positivisme merupakan filsafaat ilmu yang dipegang oleh kaum behavioris ini. dalam positivisme, ilmu pengetahuan muncul hanya melalui pengumpulan data yang dapat diamati. Menurut mereka Pengumpulan data akan lebih mudah jila dilakukan mengikuti tingkat atau level analisis, seperti individu, kelompok, state dan global. Pengumpulan data yang cukup ini diasumsikan akan lebih mudah diidentifikasi pola-pola yang pada gilirannya memungkinkan perumusan hukum-hukum. Penekanan pada data yang dapat diamati ini sangatlah penting. Sebuah tulisan dari penelitian Ilmu Sosial Universitas Chicago,AS menegaskan : if you cannot measure it, your knowledge is meagre and unsatisfactory (jika anda tidak bisa mengukurnya, maka pengetahuan anda tidak lengkap dan tidak memuaskan.
Penekanan data yang diamati dan pengukuran ini banyak di kritik oleh kaum realis dan ilmuan HI lainnya. Banyak konsep inti kalangan realisme klasik tidak spesifik dan susah diukur. Kekuasaan, kepentingan nasional, misalnya. Jika mau dipelajari secara saintifik, memerlukan tingkat kejelasan dan defenisi yang spesifik, karena sesuatu yang tidak dapat diukur dengan teliti dan dites harus dibersihkan menurut ontologi pendekatan saintifik. Metode-metode baru kemudian dikembangkan dan model matematika dalam proses internasional mendapatkan posisi. Kaum behavioralis berharap bahwa melalui pengumpulan data yang tidak kenal lelah, pengetahuan akan maju dan kontrol akan mengikuti.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh kaum klasik lebih fokus tehadap kajian sejarah, pengalaman para diplomat, proses diplomasi, biografi dan autobiografi mereka, pemikiran dan pandangan filosofis yang dominan pada saat itu, yang pada umumnya menggunakan data-data kualitatif. Sedangkan para pengusung saintifik cenderung melakukan penyelidikan yang bersifat kuantitatif dengan menggunakan data-data statistik yang dapat diukur, mengikuti suatu model statistik. Mereka melakukan survei untuk mengetahui pendapat umum dan melakukan pengukuran terhadap keteraturan yang terjadi dalam prilaku negara untuk menghasilkan teori-teori yang akurat dalam HI.
Contohnya, pengukuran yang dilakukan terhadap prilaku negara-negara demokrasi liberal dalam konflik dan perang. Hasil penyelidikan mereka, misalnya menemukan bahwa diantara sesama negara demokrasi liberal, perang amat jarang, bahkan tidak pernah terjadi. Sementara sesama rezim otoritarian atau antara liberal dan otoritarian sering terjadi perang. Penyelidikan ini kemudian menghasilkan proposisi dan kadang juga disebut teori perdamaian demokratis (democratic peace preposition/theory).
Kedua, perdebatan yang berlangsung sekitar tahun 1980-an sampai sekarang antara positivis dan pos-positivis. Kritik pos-positivis lebih filosofis dan mendalam karena dengan hakikat dunia sosial (nature of the social world) atau ontologi dan hubungan antara pengetahuan kita dengan dunia sosial itu (epistimology). Pertanyaan ontologis yang sering timbul seperti, apakah ada suatu realitias objektif ‘diluar sana’, apakah dunia itu hanya satu pengalaman saja, yakni ciptaan subjektif dari manusia?
Dalam kaitan ontologi, positivisme mempercayai adanya realitas obyektif diluar sana sehingga sering disebut juga dengan istilah obyektivisme. HI bagi mereka adalah suatu benda, obyek diluar sana. Pos-Positivis, sebaliknya tidak percaya pada dunia diluar sana ; HI bagi mereka hanya ide-ide atau konsep yang dipahami bersama oleh orang-orang, khususnya bagaimana mereka seharusnya mengelola kehidupan mereka dan hubungan antara satu sama lainnya secara politik. HI dibentuk secara ekslusif oleh bahasa, ide-ide dan konsep-konsep. Pos-positivis sering juga disebut subyektivis.
Seperti yang telah disebutkan di awal, epistimologi berkaitan dengan cara apa yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia? Para ilmuan positivis mencoba menjelaskan dunia secara saintifik atau ilmiah melalui penyelidikan yang menghasilkan proposisi-proposisi yang secara empiris dapat diverifikasi. Pada sisi lain, post-positivist mencoba memahami dunia. Mereka memahami dan menginterpretasikan topik-topik yang dikaji. Bagi mereka masalah sejarah, hukum atau moral politik dunia tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa ilmiah atau sains, tanpa memahaminya terlebih dahulu.
Seringkali dua posisi ini bertentangan secara total, misalnya natra bevioralis dan pos-modernis. Namun banyak ilmuan yang mencoba melakukan dua hal ini, yakni menjelaskan dan memahami secara bersama-sama. Celah antara dua ekstrim itu bukannya tidak bisa dijembatani. Pilihannya bukanlah satu atau lain, tetapi melihatnya dalam satu kontinum karena, misalanya mengikuti pandagan pakar konstruktivis, mereka mencoba membangun jemabatan tengan atau middle groud. Memang dalam pandangan ekstrim tadi ada behavioralis untuk positivis dan pos-modernis untuk pos-positivis. Tetapi diantara keduanya, kita melihat ada teori-teori kritis dan konstruktivis, misalnya demikian juga diantara kedua ekstrem itu ada pendekatan klasik dalam HI dan pendekatan-pendekatan etik dan normatif.

Tabel Perdebatan Konstruktivis dan Positivis
NO
KAJIAN/PENDAPAT
KONSTRUKTIVIS
POSITIVIS
1
Penekanan
Dapat mengakumulasi pengetahuan yang valid tentang dunia
Peranan ide, pengetahuan bersama tentang dunia internasional

Negara-negara saling membentuk kerjasama satu sama lain dalam hubungan mereka dan dengan cara ini mereka juga membentuk anarki internasional yang menentukan hubungan mereka. Anarki, seperti yang dikatakan Wendt, bukan kondisi natural atau alamiah, namun dibentuk oleh negara.
Pembahasan mengenai metodologi penelitian dalam Hubungan internasional ini menunjukkan penyokong realisme dan liberalisme menggunakan pendekatan bukan positivis, dalam artian mereka (realisme dan liberalisme) ini tidak menggunakan metode penelitian yang ketat dan terukur yang biasa digunakan oleh positivis. Namun mereka memiliki tujuan yang sama yakni untuk mencari keteraturan, proposisi dan teori dalam HI. Oleh karena itu, penumpukan dan pencarian data adalah sesuatu yang sangat penting. Dapat disimpulkan, meraka tidak se esktrim behavioralis dalam memahami fakta dan data, namun mereka juga tidak terlalu jauh mengikuti post-modernisme yang menolak keberadaan fakta dan realitas ‘diluar sana’.
Para analis politik luar negeri, baik generasi pertama maupun kedua, cenderung menggunakan pendekatan positivis. Selain mencoba mengikuti prosedur ilmiah yang digariskan kaum saintifik, mereka juga memilah kajian dalam level-level analisis untuk memudahkan mereka melokalisasikan dan mengakumulasikan data. Level analisis yang dikenal misalnya dari level individu, kelompok, birokrasi, state dan internasional. Pemilihan level ini bagi mereka sangatlah penting agar penelitian lebih fokus, walaupun seringkali ini berarti mengorbankan level lain yang mungkin mempunyai penjelasan akurat dan bersifat melengkapi.


Sumber : Abubakar Eby Hara, Ph,D, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri Dari Realisme samapai Konstruktivisme. (Bandung : Nuansa Cendekia, 2011).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar