Tokoh-tokoh Realisme :
1. Thucydides
2. Niccolo Machiavelli
3. Hans J. Morgenthau
4. Thomas Hobbes
5. Robert Gilpin, etc
Salah satu isu penting dalam perkembangan hubungan
internasional adalah masalah keamanan, karena setiap negara memiliki apa yang disebut
dengan sifat anarki. Sehingga setiap negara-negara dunia mencoba untuk mencoba
melindungi diri dari serangan dari negara lain. Dalam interaksi antar
negara-negara paling sedikit ada lima nilai dasar sosial yang harus tetap
dijaga oleh setiap negara, yakni : keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan
dan kesejahteraan. Kelima nilai ini merupakan nilai yang sangat fundamental
yang harus dilindungi atau dijamin dengan cara apapun. Sehingga hal ini biasa
dilakukan oleh organisasi sosial diluar negara, seperti keluarga, klan, etnis
atau organisasi keagamaan. Nilai-nilai ini berkaitan dengan teori dalam
Hubungan internasional, dengan tabel sebagai berikut :
No
|
Fokus
|
Teori-teori/Paradigma
|
1
|
Keamanan (Politik kekuatan,konflik dan perang)
|
Realisme
|
2
|
Kebebasan (Kerjasama, perdamaian, kemajuan)
|
Liberalisme
|
3
|
Ketertiban dan Keadilan (kepentingan bersama, aturan
dan lembaga)
|
Masyarakat Internasional
|
4
|
Kesejahteraan (kekayaan, kemiskinan dan persamaan)
|
Teori-teori Ekonomi Politik Internasional (EPI)
|
Di era modern seperti sekarang ini keperluan akan adanya
keamanan dan kenyamanan dalam satu negara, harus didukung dengan adanya
keterlibatan lembaga resmi yang dapat menjamin terwujudnya kelima nilai-nilai
tersebut.Lembaga tersebut adalah negara, masyarakat umumnya menganggap bahwa
negara harus dan akan menjaga nilai keamanan nasional, yang mencakup
perlindungan warga negara dari ancaman internal dan eksternal. Tugas ini
merupakan perhatian atau kepentingan fundamental negara-negara. Dengan
demikian, keberadaan negara-negara merdeka sangat mempengaruhi nilai keamanan,
kita hidup dalam dunia banyak negara dan hampir semua dilengkapi dnegan
persenjataan paling tidak dalam beberapa tingkatan. Sehingga negara-negara
sekaligus dapat bertahan maupun mengancam keamanan rakyat, dan paradoks dari
sisrem negara biasanya dianggap sebagai “dilema keamanan”, dimana hampir setiap
organisasi manusia lainnya, negara dapat menimbulkan masalah sekaligus
memberikan solusinya.
Sebagian besar negara mungkin bersahabat, tidak mengancam
dan mencintai perdamaian. Tetapi sebagian kecil negara mungkin bermusuhan dan
agresif, dan tidak adanya pemerintahan dunia yang dapat mencegah mereka. Setiap
negara percaya bahwa kekuatan militer merupakan suatu kebutuhan penting,
sehingga negara-negara dapat hidup berdampingan dan berhadapan satu sama
lainnya tanpa terintimidasi dan takluk. Banyak negara ikut serta dalam
aliansi-aliansi dengan negara lain untuk meningkatkan keamanan nasionalnya.
Untuk menjamin agar tidak ada negara-negara berkekuatan besar (great powers)
berhasil mencapai posisi hegemoni atas dominasi keseluruhan, berdasarkan
intimidasi, paksaan atau penggunaan kekuatan sewenang-wenang, adalah penting
bagi suatu negara untuk membangun dan memelihara keseimbangan kekuatan militer.
Pandangan inilah yang menjadi dasar muncul dan berkembangnya pandangan Realis
dalam hubungan internasional. Pendekatan ini berdasar atas asumsi bahwa
hubungan negara dapat dicirikan sebaik-baiknya sebagai dunia yang didalamnya
terdapat negara-negara bersenjata yang saling bersaing dengan lawannya secara
periodik berperang antara satu sama lain (Morgenthau, 1960).
Elemen-elemen Realisme
Sebelum mengetahui secara menyeluruh mengenai pandangan
realisme, terlebih dahulu perlu diketahui asumsi-asumsi atau elemen-elemen
dasar kaum realisme, yakni :
1. Pandangan pesimis terhadap sifat dasar manusia ;
2. Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya
bersifat konfliktual dan konflik internasional pada akhirnya akan diselesaikan
melalui perang ;
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan
kelangsungan hidup negara ;
4. Skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik
internasional seperti yang terjadi dalam politik domestik.
Pandangan pesimis atas sifat dasar manusia ini sangat
jelas dijelaskan dalam teori HI Hans Morgenthau (1965;1985), merupakan pemikir
realis yang sangat terkemuka pada abad ke-20. Ia melihat bahwa setiap manusia,
baik pria maupun wanita memiliki “keinginan untuk berkuasa”. Hal ini sangat
jelas tergambar dalam politik dan khususnya politik internasional. “Politik
adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan
akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh,
memelihara dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik”.
Thucydides, Machiavelli dan hobbes mereka adalah kaum
klasik, tentunya memiliki pandangan yang sama dengan hal tersebut. Mereka yakin
bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan merupakan
perhatian utama aktivitas politik. Dengan demikian politik internasional
digambarkan sebagai politik kekuasaan (power
politics), yang menjadi arena persaingan, konflik dan perang antara
negara-negara dimana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan
kepentingan nasipnal dan dalam menjamin kelangsungan hidup negara berulang
secara terus menerus.
Kaum realis berjalan dengan asumsi dasar bahwa politik
berkembang dalam anarki internasional, yakni sebuah sistem tanpa adanya
kekuasaan yang berlebihan, tidak pada pemerintahan dunia. Negara adalah aktor
utama dalam politik dunia. Aktor-aktor lainnya dalam dunia politik seperti
individu-individu, organisasi internasional, LSM dst kurang penting atau tidak
penting. Inti terpenting dari kebijakan luar negeri adalah untuk membentuk dan
mempertahankan negara dalam politik dunia. Kekuatan setiap negara tidaklah
sama, terdapat hierarki internasional atas kekuasaan diantara negara-negara.
Negara-negara yang paling penting dalam politik dunia adalah negara yang
berkekuatan besar (great powers).
Hubungan internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan
diantara negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan.
Dasar normatif dari realis ini adalah keamanan nasional
dan kelangsungan hidup negara, ini merupakan nilai-nilai dan kebijakan luar
negeri kaum realis. Negara dipandang sebagai aktor esensial bagi kehidupan
warga negaranya, tanpa adanya negara yang menjamin alat-alat dan
kondisi-kondisi keamanan dan memajukan kesejahteraan, kehidupan manusia
dibatasi menjadi seperti yang tersurat dalam pernyataan Thomas Hobbes yang
terkenal (1946) sifat negara-negara ada yang ‘terpencil, miskin dan sangat
tidak menyenangkan, tidak berprikemanusiaan dan singkat’. Dengan demikian
negara dianggap sebagai pelindung wilayahnya, penduduknya dan cara hidupnya
khas dan berharga. Kepentingan nasional adalah wasit terakhir dalam menentukan
kewajiban luar negeri. Masyarakat dan moralitas manusia dibatasi pada negara
dan tidak meluas pada hubungan internasional, yang merupakan arena politik dan
kekacauan besar, perselisihan, konflik antar negara-negara dimana negara-negara
yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.
Fakta bahwa semua
negara harus mengejar kepentingan
nasionalnya sendiri berarti bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak
akan pernah bisa diharapkan sepenuhnya. Seluruh kesepakatan internasional
bersifat sementara dan kondisional atas dasar keinginan negara-negara untuk
mematuhinya. Semua negara harus siap mengorbankan kewajiban
internasionalnya yang berdasar pada
kepentingannya sendiri, jika dua negara terlibat dalam konflik. Hal ini
menjadikan perjanjian-perjanjian, konvensi, kebiasaan, aturan, hukum dan
lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa pengaturan yang bijaksana dan
dapat dikesampingkan jika semua itu bersebrangan dengan kepentingan vita
negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam pengertian moral dari kata itu,
yakni terikat kewajiban timbal balik antara negara-negara merdeka. Berdasarkan
ciri-ciri tersebut, kaum realis menganggap bahwa satu-satunya tanggung jawab
mendasar warga negara adalah meningkatkan dan mempertahankan kepentingan
nasional, seperti yang digambarkan oleh Machiavelli dalam buku terkenalnya The Prince:
“Seorang pangeran, tidak dapat mematuhi segala sesuatu
yang dianggap baik bagi manusa, agar dapat mempertahankan negara, ia seringkali
bertindak bertentangan dengan janjinya, dengan kebaikan dan dengan rasa
kemanusiaannya dan terhadap keyakinannya. Oleh karena itu, Ia perlu memiliki
pikiran yang berbalik dengan dirinya sendiri, sepanjang itu masuk akal, ia
seharusnya tidak tersesat dari kebaikan, namun ia seharusnya tahu bagaimana
menjadi setan jika kebutuhan memintanya. (Machiavelli ;59-60).
Realisme Klasik
Tokoh-tokoh terkenal dalam realis klasik seperti
Sejarawan Yunani Kuno Thucydides, seorang teorisi politik Italia pada masa
rennaisance, Niccolo Machiavelli dan Filusuf Hukumm dan Politik Inggris
diabad-17 Thomas Hobbes. Selain itu, adapula tokoh realis neoklasik yang juga
merupakan teorisi HI di Amerika-Jerman abad ke-20, Hans J.Morgenthau.
Thucydides
Apa yang kami sebut hubungan antara bangsa (national) Thucydides melihatnya sebagai
konflik dan kompetisi yang tidak dapat dihindari antar negara-negara Yunani
Kuno (peradaban Hellas) dan antara Hellas dan kekaisaran Non-Yunani
disekitarnya seperti Macedonia dan Persia. Baik negara-negara Hellas maupun tetangganya
yang bukan Yunani tidak ada satupun yang setara. Sebaliknya mereka dinyatakan
tidak setara, terdapat beberapa “negara berkekuatan besar, seperti Athena,
Sparta dan kekuasaan Persia dan banyak negara yang berkekuatan lebih kecil dan
lemah seperti kepualauan kecil di laut Aehean. Perbedaan ini dianggap tidak
dapat dihindari dan alami, dan realisme Thucydides ini menggambarkan
sifat/karakter alamiahnya. Aristoteles mengatakan bahwa “manusia adalah
binatang politik”. Sedangkan Thucydides mengatakan sebenarnya binatang politik
sangatlah berbeda dalam kekuatan dan kapabilitasnya untuk mendominasi yang lain
dan mempertahankan dirinya sendiri. Semua negara, baik besar maupun kecil harus
mampu beradaptasi terhadap keadaan alamiahnya, berdasarkan realitas kekuatan
yang berbeda dan juga harus mampu mengatur dirinya sendiri sesuai dengan
keadaan alamiahnya. Jika negara mampu melakukan hal itu, mereka akan bertahan
dan bahkan menjadi semakin sejahtera. Namun jika negara gagal melakukan hal
itu, mereka akan menceburkan diri dalam bahaya dan bahkan mungkin dihancurkan.
Sejarah kuno penuh dengan contoh-contih negara-negara dan kerajaan-kerajaan,
baik yang besar maupun yang kecil, dihancurkan. Seperti persaingan yang terjadi
antara kerajaan-kerajaan Yunani kuno dibawah kepemimpinan Sparta dan Athena
yang membentuk Liga Hellenik (492-477 SM) bertujuan untuk membentuk persamaan
atas kesatuan Yunani selama perang Persia. Namun terjadi perselisihan
anggota-anggota Liga, kebanyakan disebabkan oleh ketakutaan negara kota atas
perluasan dan imperialisme Athena. Setelah kemenangan Yunani atas Persia, musuh
Athena yang dipimpin oleh Sparta, membentuk aliansi tandingan Liga Peloponesia
suatu aliansi yang bertujuan membentuk sistem keamanan bersama (collective security)bertujuan untuk
menentang perluasan Athena lebih jauh. Persaingan keras atas perdagangan dan
keunggulan angkatan laut antara Corinth dan Athena pada akhirnya menjurus pada
perang Peloponesia yang melibatkan dua aliansi tersebut. (Holsti L 1988
:38-39).
Dari kasus tersebut Thucydides menekankan pilihan-pilihan
terbatas dan ruang manuver terbatas yang tersedia bagi warganegara dalam
menajalankan kebijakan luar negeri. Ia juga menekankan bahwa keputusan memiliki
konsekuensi : sebelum keputusan akhir dibuat, seorang pembuat keputusan harus
dengan hati-hati memikirkan kemungkinan, konsekuensi yang buruk maupun baik. Thucydides
juga menekankan etika kehati-hatian dalam menjalankan kebijakan luar negeri
dalam dunia internasional yang penuh dengan perbedaan yang pilihan-pilihan
kebijakan luar negerinya terbatas, dan dalam menghadapi bahaya yang selalu
muncul tiba-tiba seperti juga kesemparan.
Dalam studinya yang terkenal tentang perang Peloponesian
(431-404 SM), Thucydides menjelaskan filsafat realisnya pada para pemimpin
Athena, suatu negara berkekuatan besar dalam dialignya dengan para pemimpin
melos suatu negara berkekuatan kecil selama masa konflik antar kedua
negara-kota pada tahun 426SM. Bangsa melian membuat pertimbangan berdasarkan
prinsip keadilan, yang bagi mereka berarti bahwa kehormatan dan martabatnya
sebagai negara yang bebas harus dihargai oleh bangsa Athena yang kuat. Tetapi
menurut Thucydides, keadilan adalah sesuatu yang khusus dalam hubungan
internasional. Keadilan bulaklah perlakuan yang sama kepada semua pihak, namun
ini tentang mengetahui tempat yang tepat, tentang menyesuaikan diri pada
realitas alami kekuatan yang berbeda.
Contoh ini merupakan gambaran paling terkenanl dari
pemahaman kaum realis klasik mengenai hubungan internasioanl yang pada dasarnya
anarki atas negara-negara terpisah yang tidak memiliki pilihan nyata kecuali
berjalan menurut prinsip-prinsip dan praktek-praktek politik kekuasaan dimana
keamanan dan kelangsungan hidup negara merupakan nilai-nilai paling utama dan
perang adalah wasit terakhir.
Niccolo Machiavelli
Kekuasaan (singa) dan penipuan (rubah) adalah dua alat
penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri, menurut ajaran politik
Machiavelli (1984 :66). Nilai tertinggi adalah kebebasan nasional, yakni
kemerdekaan. Tanggung jawab utama penguasa adalah selalu berupaya mencari
keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kelangsungan
hidupnya. Hal ini membutuhkan kekuatan : jika negara tidak kuat akan mendorong
hasrat kuat bagi yang lain untuk menghancurkannya (Penguasa harus menjadi
seekor singa). Hal itu membutuhkan kecerdikan dan jika perlu kekejaman dalam
mengejar kepentingan dirinya (penguasa harus mnejadi seekor rubah). Jika
penguasa tidak cerdik, pandai dan tangkas, mereka mungkin kehilangan kesempatan
yang dapat membawa keunggulan atau manfaat besar baginya dan negaranya. Bahkan
lebih penting, mereka mungkin gagal melihat suatu bahaya atau ancaman yang jika
tidak dijaga mungkin akan melukai atau bahkan menghancurkan mereka, rejimnya,
dan bahkan mungkin negaranya juga. Para negarawan harus menjadi singa dan rubah
adalah inti teori realis Machiavelli, teori utama realis klasik HI adalah teori
kelangsungan hidup negara (Wight 1966).
Asumsi Machiavelli yang berlebihan adalah bahwa dunia
merupakan tempat yang berbahaya. Namun disisi lain, tempat yang menguntungkan
pula. Jika setiap orang hendak bertahan dalam dunia seperti itu, dia harus
menyadari akan adanya bahaya, harus mengantisipasinya, dan harus mengambil
tindakan pencegahan yang diperlukan. Apabila mereka mengharapkan untuk menjadi
sejahtera, dapat memperkaya diri sendiri, dan dapat bersenang-senang dalam
kejayaan yang tercermin dalam dari keseluruhan kekuasaan dan kekayaan yang
telah mereka dapatkan, perlu bagi mereka untuk mengetahui dan mengeksploitasi kesempatan-kesempatan
yang mucul dan melakukannya dengan cepat, penuh keahlian dan jika perlu lebih
kejam dari musuh dan saingannya yang manapun. Oleh karena itu pelaksanaan
kebijakan luar negeri merupakan aktivitas instrumental atau “Machiavellian”
berdasarkan kalkulasi cerdas kekuatan dan kepentingan suatu negara terhadap
kekuatan dan kepentingan musuh dan pesaing.
Yang terpenting menurut Machiavelli, pemimpin negara yang
bertanggungjawab tidak harus bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip umat
Kristiani : mencintai tetangganya, bersikap damai dan mencegah perang, kecuali
untuk mempertahankan diri atau dalam mencari alasan yang tepat. Jika pemimpin
politik bertindak sesuai dengan moralitas kristiani, mereka akan menemukan
kesulitan, dan akan kehilangan semuanya. Bukan hanya itu, mereka akan
mengorbankan harta benda dan mungkin kebebasan, bahkan kehidupan
warganegaranya, yang bergantung pada keahlian mereka sebagai negarawan.
Implikasinya jelas, jika seorang penguasa tidak mengetahui atau menghargai
bentuk-bentuk politik kekuasaan, maka ketatatnegaraannya akan gagal. Dengan
begitu akan berpengaruh pada keamanan dan kesejahteraan warganegaranya yang
sangat bergantung padanya. Dengan kata lain, tanggung jawab politik mengalir
dalam saluran yang sangat berbeda dari biasanya, moralitas pribadi. Nilai-nilai
mendasar adalah keamanan dan kelangsungan hidup negara : yakni apa yang harus
menjadi petunjuk kebijakan luar negeri.
Tulisan Machiavelli kadang-kadang digambarkan sebagai
“buku petunjuk tentang bagaimana berjuang dalam dunia yang sangat kacau dan
tidak bermoral” (Forde 1992 : 64). Namun pandangan ini menyesatkan, karena
mengabaikan tanggungjawab penguasa tidak hanya bagi mereka sendiri atau rejim
personalnya, tetapi juga negeri dan warganegaranya : apa yang dianggap Machiavelli,
membayangkan Florence, sebagai ‘republik’. Ini merupakan aspek kebaikan
kepentingan umum dari realisme Machevellian : penguasa harus menjadi singa
sekaligus rubah dalam waktu yang sama, sebab rakyatnya bergantung padanya demi
kelangsungan hidup dan kesejahteraannya. Ketergantungan rakyat pada
penguasanya, khususnya pada kebijaksanaan kebijakan luar negentinya,
menunjukkan fakta bahwa nasibnya terikat dalam negara yang sama, hal itu
merupakan inti normatif bukan hanya dari realisme Machiavellian tetapi dari
realisme klasik pada umumnya.
Thomas Hobbes dan Dilema Keamanan
Thomas Hobbes berpikir kita dapat memperoleh pandangan
mendasar kedalam kehidupan politik jika kita membayangkan pria dan wanita hidup
dalam kondisi ‘alami’ sebelum penemuan dan pembentukan negara berdaulat. Ia
menganggap bahwa kondisi pra-sipil tersebut sebagai ‘keadaan alami’. Bagi
Hobbes (1946 :82) ‘keadaan alami’ merupakan lingkungan manusia yang sangat
tidak bersahabat dimana terdapat ‘keadaan perang’setiap manusia dengan manusia
lainnya. Dalam kondisi alaminya setiap pria, wanita dan anak-anak berbahaya
bagi siapapun, kehidupan terus berada dalam keadaan bahata, dan tidak
seorangpun yakin tentang keamanan dan kelangsungan hidupnya untuk jangka waktu
yang tidak terbatas. Orang hidup terus menerus dalam ketakutan terhadap satu
sama lain. Hobbes mencirikan kondisi pra-sipil, sebagai berikut :
Dalam kondisi seperti itu, tidak ada tempat bagi
industri, sebab hasil daripadanya tidak menentu. Akibatnya tidak ada budaya
dimuka bumi ; tidak ada navigasi ataupun penggunaan komoditas-komoditas yang
mungkin bisa diimpor melalui laut, tidak ada bangunan megah, tidak ada seni,
tidak ada surat, tidak ada masyarakat dan yang paling buruk dari semuanya,
ketakutan selamanya, dan bahaya kematian yang sadis; dan kehidupan manusia yang
terpencil, miskin, buruk, brutal dan singkat. (Hobbes, 1946 :82).
Hobbes
yakin bahwa terdapat jalan keluar dari keadaan alami menuju kondisi manusia
yang lebih beradab, yakni melalui penciptaan dan pemeliharaan negara berdaulat.
Alat pelarian oleh pria dan wanita ini digunakan untuk membalikkan ketakutannya
satu sama lain dalam kolaborasi bersama satu sama lain ntuk membentuk
perjanjian keamanan yang dapat menjamin keselamatan mereka masing-masing.
Ironisnya pria dan wanita melakukan kerjasama secara politik disebabkan oleh
ketakutan mereka akan dilukai atau bahkan dibunuh oleh tetangganya : “mereka
dibuat beradab oleh ketakutan mereka terhadap kematian” (Oakeshott 1975 :36).
Ketakutan dan tidakamanan mereka mendorong mereka jauh dari kondisi alaminta :
perang semua melawan manusia. Dengan kata lain, mereka pada dasarnya didorong
untuk membentuk negara berdaulat bukan oleh rasionya (intelegensi), tetapi oleh
keinginannya (emosi). Dengan nilai perdamaian dan ketertiban yang tertanam
kuat, mereka akan berkolaborasi bersama menciptakan suatu negara dengan
pemerintahan yang berdaulat yang memiliki kekuasaan absolut dan kekuatan yang
besar untuk melindungi mereka baik dari kekacauan internal maupun musuh serta
ancaman-ancaman dari pihak asing. Dalam kondisi yang beradab (damai dan tertib)
dibawah perlindungan negara, baik pria maupun wanita memiliki kesempatan
berkembang dalam keselamatan yang relatif : mereka tidak lagi terus-menerus
hidup dalam ancaman terluka dan kematian. Dalam keadaan aman dan damai, mereka
bisa bebas dan sejahtera. Seperti yang dijelaskan Hobbes, mereka akan mengejar
dan memperoleh ‘kesenangan’ yakni kebagiaan dan kesejahteraan.
Tindakan
membentuk negara berdaulat yang terlepas dari keadaan alami yang menakutkan
terus-menerus menciptakan keadaan alami lain di antara negara-negara. Hal itu
mengandung apa yang biasanya dianggap “dilema keamanan” dalam politik dunia :
pencapaian keamanan personal dan keamanan domestik melalui penciptaan negara
selalu disertai oleh kondisi ketidakamanan nasional dan internasional yang berakar
dalam anarki sistem negara. Tidak ada upaya pembebasan diri dari dilema
keamanan internasional, yang didalamnya terdapat upaya untuk melarikan diri
dari dilema keamnan personal, sebbab tidak ada kemungkinan unguk membentuk
negara global atau pemerintahan dunia. Berbeda dengan manusia (pria dan wanita)
yang berada dalam keadaan alami, negara-negara berdaulat tidak akan menyerahkan
kemerdekaannya demi terjaminnta keamanan global. Hal ini disebabkan keadaan
alami internasional negara-negara tidak sama mengancam dan berbahanya seperti
keadaan alami aslinya : lebih mudah bagi negara-negara memerikan keamanan
daripada bagi setiap individu (pria dan wanita) untuk melakukan hal yang sama
bagi dirinya sendiri ; negara-negara dapat memobilisasi kekuatan kolektif
sejumlah besar rakyat ; negara-negara dapat mempersenjatai dirinya sendiri dan
dapat mempertahankan dirinya sendiri terhadap ancaman keamanan pihak asing
secara besar-besaran dan berkesinambungan.
Anarki
internasional berdasarkan pada negara berdaulat merupakan sistem kebebasan bagi
kelimpok. Namun inti terpenting tentang keadaan alami internasional adalah
kondisi dari perang aktual atau potensial, tidak akan terdapat perdamaian yang
permanen atau terjamin diantara negara-negara berdaulat.
Menurut
Hobbes, negara-negara juga akan membuat perjanjian satu sama lain untuk
menyediakan dasar hukum dalam hubungan antar negara. Hukum internasional dapat
menenangkan keadaan alami internasional dengan menyediakan kerangka persetujuan
dan aturan yang menguntungkan semua negara. Realisme klasik, Hobbes menekankan
pada kekuatan militer dan hukum internasional. Namun dalam hukum internasional
yang diciptakan oleh negara-negara, dan hukum itu hanya akan dipatuhi oleh
negara yang melakukannya saja, sebaliknya hukum itu akan diabaikan. Bagi
Hobbes, seperti Machiavelli dan Thucydides, keamanan dan kelangsungan hidup
adalah nilai-nilai yang sangat mendasar. Namun dasar dari realisme Hobbesian
adalah perdamaian domestik, perdamaian dalam kerangka kerja negara berdaulat
dan kesempatan bahwa “hanya perdamaian sipil yang dapat menyediakan kebahagiaan
bagi setiap manusia (pria dan wanita)’. Perbedaan nilai-nilai dasar dari ketiga
tokoh realis klasik, dapat di kategorikan dalam tabel sebagai berikut :
No
|
Thucydides
|
Machiavelli
|
Hobbes
|
1
|
Nasib politik
|
Kebuasan politik
|
Keinginan Politik
|
2
|
Kebutuhan dan
keamanan
|
Kesempatan dan
keamanan
|
Dilema Keamanan
|
3
|
Ketahanan politik
|
Kelangsungan
hidup politik
|
Ketahanan Politik
|
4
|
Keselamatan
|
Kebajikan umum
|
Perdamaian dan
kebahagiaan
|
Dari
semua penjelasan mengenai asumsi kaum realis klasik dapat dirangkum secara
ringkas. Pertama, mereka setuju bahwa
kondisi manusia adalah kondisi yang tidak aman dan berkonflik yang harus
diperhatikan dan dihadapi. Kedua,
mereka setuju bahwa terdapat kumpulan pengetahuan politik, atau kebijaksanaan,
untuk menghadapi masalah keamanan dan masing-masing dari mereka mencoba
mengidentifikasi elemen-elemen pokoknya. Ketiga,
mereka setuju bahwa tidak ada pelarian akhir dari kondisi manusia ini, yang
merupakan bentuk permanen kehidupan manusia. Dengan kata lain, meskpun terdapat
kumpulan kebijakan politik yang dapat diketahui dan dinyatakan dalam bentuk
pepatah2 politik, dimana tidak ada solusi permanen atau akhir bagi
masalah-masalah politik termasuk politik internasional.
Sumber-sumber :
Robert Jackson
& George Sorensen. Pengantar Studi
Hubungan Internasional. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009).
Martin Grifftith. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan
Internasional. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar